Sebelum negeri kita merdeka, pahlawan diidentikkan dengan orang-orang yang ikut angkat senjata berjuang melawan penjajah. Beberapa dari nama mereka diabadikan menjadi nama jalan, gedung, maupun gambar di mata uang. Tetapi setelah Indonesia merdeka 67 tahun, di saat situasi damai, dan banyaknya kemudahan yang dimiliki, masihkah tersisa semangat pahlawan di dalam diri kita?
Tentunya pengertian pahlawan di masa kini tidak diartikan sempit. Mereka bukan hanya pejuang di medan perang. Mereka juga bukan Batman atau Wonder Woman, yang punya kekuatan super untuk memberantas kejahatan dan menyelamatkan dunia. Mereka bisa saja orang-orang biasa, yang dengan segala keterbatasan yang dimiliki rela berjuang dan mengorbankan sebagian atau seluruh hidupnya demi kebaikan orang lain maupun lingkungan mereka.
Setiap ibu adalah pahlawan bagi anak-anak yang dilahirkannya. Karena ia bertaruh jiwa raga sejak si anak masih di dalam kandungan, hingga melahirkan dan menyusui buah hatinya. Guru juga pahlawan, karena mereka adalah orang-orang yang dengan tulus (meski digaji untuk pekerjaannya itu) dan penuh dedikasi dalam memberi bekal ilmu yang membuat kita melek huruf hingga menjadi cendekiawan dan orang sukses lainnya.
Adalah juga pahlawan jika seorang kakak rela mendonorkan salah satu ginjalnya demi menyelamatkan nyawa adiknya yang mengalami gagal ginjal. Atau seorang ibu tunggal yang berjuang mencari nafkah untuk menyambung hidup keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin sesuai dengan kemampuannya. Pasangan yang bersedia menjadi orang tua asuh seperti Angline Jolie dan Brad Pitt yang mengadopsi anak-anak telantar dari belahan dunia ketiga, atau Butet Manurung yang rela mengasingkan diri di hutan dan gigih berjuang demi mendirikan sekolah bagi anak-anak rimba, juga layak disebut pahlawan.
Di zaman milenium yang diikuti lajunya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, bukan tak mungkin musuh yang ditemui selalu kasat mata. Teknologi informasi dan komunikasi yang semula sangat membantu hidup kita, bisa berbalik menjadi musuh yang berbahaya. Ia dapat merusak moral, menghancurkan rasa kepedulian terhadap sesama, dan memecah belah keutuhan keluarga.
Ini adalah tantangan baru.Ibarat pedang bermata dua, kita memang perlu cermat memanfaatkan teknologi demi kebaikan orang banyak. Seperti yang dilakukan para penggagas berbagai kepahlawanan sosial di dunia maya. Sebut saja blood for life, akademi berbagi, indonesia berkebun. Mereka boleh dibilang sebagai 'pahlawan digital'. Mereka telah menginspirasi banyak orang untuk ikut menyebarkan kebaikan bagi sesama.
Tentunya pengertian pahlawan di masa kini tidak diartikan sempit. Mereka bukan hanya pejuang di medan perang. Mereka juga bukan Batman atau Wonder Woman, yang punya kekuatan super untuk memberantas kejahatan dan menyelamatkan dunia. Mereka bisa saja orang-orang biasa, yang dengan segala keterbatasan yang dimiliki rela berjuang dan mengorbankan sebagian atau seluruh hidupnya demi kebaikan orang lain maupun lingkungan mereka.
Setiap ibu adalah pahlawan bagi anak-anak yang dilahirkannya. Karena ia bertaruh jiwa raga sejak si anak masih di dalam kandungan, hingga melahirkan dan menyusui buah hatinya. Guru juga pahlawan, karena mereka adalah orang-orang yang dengan tulus (meski digaji untuk pekerjaannya itu) dan penuh dedikasi dalam memberi bekal ilmu yang membuat kita melek huruf hingga menjadi cendekiawan dan orang sukses lainnya.
Adalah juga pahlawan jika seorang kakak rela mendonorkan salah satu ginjalnya demi menyelamatkan nyawa adiknya yang mengalami gagal ginjal. Atau seorang ibu tunggal yang berjuang mencari nafkah untuk menyambung hidup keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin sesuai dengan kemampuannya. Pasangan yang bersedia menjadi orang tua asuh seperti Angline Jolie dan Brad Pitt yang mengadopsi anak-anak telantar dari belahan dunia ketiga, atau Butet Manurung yang rela mengasingkan diri di hutan dan gigih berjuang demi mendirikan sekolah bagi anak-anak rimba, juga layak disebut pahlawan.
Di zaman milenium yang diikuti lajunya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, bukan tak mungkin musuh yang ditemui selalu kasat mata. Teknologi informasi dan komunikasi yang semula sangat membantu hidup kita, bisa berbalik menjadi musuh yang berbahaya. Ia dapat merusak moral, menghancurkan rasa kepedulian terhadap sesama, dan memecah belah keutuhan keluarga.
Ini adalah tantangan baru.Ibarat pedang bermata dua, kita memang perlu cermat memanfaatkan teknologi demi kebaikan orang banyak. Seperti yang dilakukan para penggagas berbagai kepahlawanan sosial di dunia maya. Sebut saja blood for life, akademi berbagi, indonesia berkebun. Mereka boleh dibilang sebagai 'pahlawan digital'. Mereka telah menginspirasi banyak orang untuk ikut menyebarkan kebaikan bagi sesama.
Shinta Kusuma