“Jangan pacaran lama-lama nanti keburu bosan,” begitu pesan yang seringkali kita dengar. Anggapan tersebut seakan ‘dibenarkan’ oleh hasil riset National Autonomous University of Mexico yang membuktikan bahwa perasaan cinta pada pasangan tidak akan bertahan lebih dari 4 tahun.
Sensasi jatuh cinta disebabkan oleh pelepasan zat kimia di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat aliran darah lebih lancar, denyut jantung lebih stabil, perasaan lebih rileks dan bahagia. Seiring perjalanan waktu, tubuh akan kebal terhadap efek hormon tersebut. Bahkan efek itu bisa benar-benar hilang jika melewati masa 4 tahun.
Namun begitu, tak sedikit pasangan yang merasa perlu melalui masa pacaran yang cukup lama. Mereka beranggapan, semakin lama masa pacaran berarti punya kesempatan mengenal pasangan lebih dekat sebelum berlanjut ke jenjang pernikahan. Pilihan tersebut tentu lebih menantang karena rentan terserang rasa bosan dan rasa cinta yang semakin terkikis. Simak kisah pasangan yang telah melalui masa pacaran cukup lama namun tetap mampu mempertahankan kelanggengan perkawinannya.
Memes (46 tahun)
Saling Percaya dan Memahami
Sebelum menikah, saya dan suami, Addie MS (52 tahun) menjalani masa pacaran selama 5 tahun. Karena saya masih sekolah dan punya kegiatan lain seperti menyanyi dan menari di Swara Mahardhika, sementara Mas Addie yang bekerja sebagai musisi juga punya kesibukan sendiri, kami sepakat kalau pacaran tidak boleh mengganggu aktivitas masing-masing. Kami menentukan jadwal bertemu hanya saat malam minggu.
Pertemuan yang hanya sekali seminggu memang bisa menghindari rasa jenuh namun justru rentan memicu kesalah-pahaman akibat terbatasnya komunikasi. Saling percaya memang menjadi kunci utama. Bukan hanya salah satu pihak, tapi keduanya. Percuma kalau hanya salah satu yang memberi kepercayaan sementara malah disalah-gunakan oleh yang diberi kepercayaan.
Meski begitu, namanya juga anak muda, sesekali muncul konflik kecil yang dipicu masalah sepele karena kebiasaan kami yang berbeda. Kalau nonton film, saya suka berisik dan langsung membahas saat film diputar, sebaliknya Mas Addie lebih suka diam saat menonton. Kalau terbentur konflik yang besar, kami pantang langsung bilang putus, tapi memilih ‘break’ sementara waktu dan saling membuka diri untuk menjalin hubungan dengan yang lain. Tapi pada akhirnya kami balik lagi dan rasanya tidak bisa beralih ke cinta yang lain. Mungkin karena chemistry di antara kami sudah begitu kuat.
Setelah menjalani masa pacaran lebih dari lima tahun, kami merasa sudah cukup saling mengenal untuk melangkah ke jenjang selanjutnya yakni penikahan, pada 13 September 1987. Jadwal pernikahan lebih cepat satu bulan dari rencana semula karena Mas Addie harus mengikuti tur BASF Awards ke Brazil.
Pasca menikah ternyata masih banyak hal-hal baru yang kami ketahui tentang pasangan yang mungkin tak terdeteksi saat masih pacaran. Apalagi sifat manusia kan selalu berubah. Setiap fase dalam kehidupan pernikahan kami pun memiliki tantangan tersendiri, misalnya ketika punya anak pertama Kevin Aprilio (21) dan setelah lahir anak kedua, Tristan Juliano (14) tentu berbeda lagi tantangannya. Sampai sekarang pun kami saling menyesuaikan diri. Ditambah lagi, saya dan suami adalah dua pribadi yang bertolak belakang. Saya terbilang ekstrovert sementara dia cenderung introvert. Kami saling melengkapi bahkan saling belajar satu sama lain. Dengan berkaca pada pasangan, masing-masing bisa melihat sisi positif dari pasangan dan melakukan introspeksi.
Dengan karakter yang berbeda, kami juga punya cara penyelesaian masalah masing-masing. Saya tipikal yang ingin segera menyelesaikan masalah dan tidak mau menunda-nunda. Sebaliknya, Mas Addie cenderung bisa memendam dan membutuhkan waktu untuk mengungkapkannya. Dulu dia menulis surat panjang dengan alasan supaya bisa lebih fokus saat menyampaikannya. Sekarang dibantu media teknologi seperti email atau BBM. Meski begitu, kami saling menghargai cara yang kami pilih masing-masing dan tidak merasa cara saya adalah yang paling benar.
Pernikahan kami sekarang telah memasuki usia lebih dari 24 tahun. Bukan berarti hubungan kami berjalan mulus tanpa pernah terusik masalah. Saya dan suami juga suka bertengkar. Kami anggap sebagai dinamika dalam rumah tangga karena tidak mungkin seisi rumah harus memiliki satu pemikiran. Bahkan perasaan cemburu pun kami nilai sebagai bumbu dalam pernikahan. Kalau salah satu sedang marah atau ngambek, kami punya trik untuk mencairkan suasana. Seperti Mas Addie yang suka membuatkan ’kopi cinta’ untuk meluluhkan hati saya.
Terus terang, memasuki usia pernikahan 20 tahun merupakan fase yang rentan terserang rasa jenuh. Supaya tak terjebak dalam rutinitas suatu hubungan yang monoton, kami selalu menyediakan waktu untuk jalan berdua tanpa anak-anak, seperti honeymoon lagi ha...ha...ha..., apalagi anak-anak sudah besar sehingga punya waktu berdua lebih leluasa.
Kadang kami bertemu dengan teman-teman lama untuk bernostalgia. Mendengarkan kenangan tentang kisah asmara kami di jaman dulu juga bisa memperkuat kembali hubungan kami. Dalam menjalani bahtera rumah tangga, perasaan cinta itu ibarat tanaman yang harus terus dipupuk supaya tetap subur. Supaya menjadi energi untuk menjalani kehidupan perkawinan.
Sensasi jatuh cinta disebabkan oleh pelepasan zat kimia di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat aliran darah lebih lancar, denyut jantung lebih stabil, perasaan lebih rileks dan bahagia. Seiring perjalanan waktu, tubuh akan kebal terhadap efek hormon tersebut. Bahkan efek itu bisa benar-benar hilang jika melewati masa 4 tahun.
Namun begitu, tak sedikit pasangan yang merasa perlu melalui masa pacaran yang cukup lama. Mereka beranggapan, semakin lama masa pacaran berarti punya kesempatan mengenal pasangan lebih dekat sebelum berlanjut ke jenjang pernikahan. Pilihan tersebut tentu lebih menantang karena rentan terserang rasa bosan dan rasa cinta yang semakin terkikis. Simak kisah pasangan yang telah melalui masa pacaran cukup lama namun tetap mampu mempertahankan kelanggengan perkawinannya.
Memes (46 tahun)
Saling Percaya dan Memahami
Sebelum menikah, saya dan suami, Addie MS (52 tahun) menjalani masa pacaran selama 5 tahun. Karena saya masih sekolah dan punya kegiatan lain seperti menyanyi dan menari di Swara Mahardhika, sementara Mas Addie yang bekerja sebagai musisi juga punya kesibukan sendiri, kami sepakat kalau pacaran tidak boleh mengganggu aktivitas masing-masing. Kami menentukan jadwal bertemu hanya saat malam minggu.
Pertemuan yang hanya sekali seminggu memang bisa menghindari rasa jenuh namun justru rentan memicu kesalah-pahaman akibat terbatasnya komunikasi. Saling percaya memang menjadi kunci utama. Bukan hanya salah satu pihak, tapi keduanya. Percuma kalau hanya salah satu yang memberi kepercayaan sementara malah disalah-gunakan oleh yang diberi kepercayaan.
Meski begitu, namanya juga anak muda, sesekali muncul konflik kecil yang dipicu masalah sepele karena kebiasaan kami yang berbeda. Kalau nonton film, saya suka berisik dan langsung membahas saat film diputar, sebaliknya Mas Addie lebih suka diam saat menonton. Kalau terbentur konflik yang besar, kami pantang langsung bilang putus, tapi memilih ‘break’ sementara waktu dan saling membuka diri untuk menjalin hubungan dengan yang lain. Tapi pada akhirnya kami balik lagi dan rasanya tidak bisa beralih ke cinta yang lain. Mungkin karena chemistry di antara kami sudah begitu kuat.
Setelah menjalani masa pacaran lebih dari lima tahun, kami merasa sudah cukup saling mengenal untuk melangkah ke jenjang selanjutnya yakni penikahan, pada 13 September 1987. Jadwal pernikahan lebih cepat satu bulan dari rencana semula karena Mas Addie harus mengikuti tur BASF Awards ke Brazil.
Pasca menikah ternyata masih banyak hal-hal baru yang kami ketahui tentang pasangan yang mungkin tak terdeteksi saat masih pacaran. Apalagi sifat manusia kan selalu berubah. Setiap fase dalam kehidupan pernikahan kami pun memiliki tantangan tersendiri, misalnya ketika punya anak pertama Kevin Aprilio (21) dan setelah lahir anak kedua, Tristan Juliano (14) tentu berbeda lagi tantangannya. Sampai sekarang pun kami saling menyesuaikan diri. Ditambah lagi, saya dan suami adalah dua pribadi yang bertolak belakang. Saya terbilang ekstrovert sementara dia cenderung introvert. Kami saling melengkapi bahkan saling belajar satu sama lain. Dengan berkaca pada pasangan, masing-masing bisa melihat sisi positif dari pasangan dan melakukan introspeksi.
Dengan karakter yang berbeda, kami juga punya cara penyelesaian masalah masing-masing. Saya tipikal yang ingin segera menyelesaikan masalah dan tidak mau menunda-nunda. Sebaliknya, Mas Addie cenderung bisa memendam dan membutuhkan waktu untuk mengungkapkannya. Dulu dia menulis surat panjang dengan alasan supaya bisa lebih fokus saat menyampaikannya. Sekarang dibantu media teknologi seperti email atau BBM. Meski begitu, kami saling menghargai cara yang kami pilih masing-masing dan tidak merasa cara saya adalah yang paling benar.
Pernikahan kami sekarang telah memasuki usia lebih dari 24 tahun. Bukan berarti hubungan kami berjalan mulus tanpa pernah terusik masalah. Saya dan suami juga suka bertengkar. Kami anggap sebagai dinamika dalam rumah tangga karena tidak mungkin seisi rumah harus memiliki satu pemikiran. Bahkan perasaan cemburu pun kami nilai sebagai bumbu dalam pernikahan. Kalau salah satu sedang marah atau ngambek, kami punya trik untuk mencairkan suasana. Seperti Mas Addie yang suka membuatkan ’kopi cinta’ untuk meluluhkan hati saya.
Terus terang, memasuki usia pernikahan 20 tahun merupakan fase yang rentan terserang rasa jenuh. Supaya tak terjebak dalam rutinitas suatu hubungan yang monoton, kami selalu menyediakan waktu untuk jalan berdua tanpa anak-anak, seperti honeymoon lagi ha...ha...ha..., apalagi anak-anak sudah besar sehingga punya waktu berdua lebih leluasa.
Kadang kami bertemu dengan teman-teman lama untuk bernostalgia. Mendengarkan kenangan tentang kisah asmara kami di jaman dulu juga bisa memperkuat kembali hubungan kami. Dalam menjalani bahtera rumah tangga, perasaan cinta itu ibarat tanaman yang harus terus dipupuk supaya tetap subur. Supaya menjadi energi untuk menjalani kehidupan perkawinan.
seperti dikisahkan kepada Monika Erika