Kami mengawali perjalanan dari Kabupaten Merangin, untuk menemui sebuah kelompok SAD dari Rombong Peneto (Peneto adalah nama ketua rombong tersebut). Kami tak perlu jauh-jauh mencari, karena kini mereka sudah menetap di tengah-tengah perkebunan sawit, tak jauh dari kampung penduduk.
Pak Peneto mengakui, ia dan kelompoknya memang tidak bisa kembali hidup di hutan, karena hutan tidak bisa lagi memberi mereka kehidupan. “Kami ingin menetap di sini, tapi kalau babi makin susah ditemukan, dengan apa lagi kami harus hidup?” ia menambahkan. Karena itu, ia mendukung upaya PNPM Peduli dan sejumlah LSM lain untuk mengajarkan baca-tulis-hitung kepada anak-anak kecil dalam rombong-nya. “Supaya mereka tidak bodoh seperti kami yang sudah tua ini, dan supaya kami tidak gampang dibohongi terus,” kata Pak Paneto sambil mengusap kepala dua bocah lelaki usia 9-10 tahunan di dekatnya. Siapa nama bocah-bocah itu? Ternyata yang satu bernama Ariel, dan satunya lagi Andra. Seorang bocah perempuan kecil diberi nama Cantik. Pokoknya, nama-nama populer yang kerap mereka dengar di sinetron.
Kami melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi Rombong Syargawi. Saat kami tiba di sana, proses belajar mengajar sedang berlangsung di sebuah bangunan kayu yang dibuat jadi semacam aula. Puluhan anak usia 7–12 tahun duduk ngedeprok di lantai kayu, mengelilingi papan tulis dan seorang relawan dari PNPM Peduli yang sedang mengajarkan mereka baca-tulis.
Dalam hal pendidikan, rupanya Rombong Syargawi sudah selangkah lebih maju. Empat anak dari rombong ini sudah bersekolah di SD di pemukiman transmigrasi. Bukan hanya diajari baca-tulis-berhitung, mereka juga diajari untuk menjaga kebersihan badan dengan mandi dan gosok gigi setiap hari. Bagusnya, mereka mengaku tidak mengalami perlakuan diskriminatif dari teman-teman sekolah maupun guru-guru mereka. “Awalnya mereka tak mau ke sekolah karena takut, tapi terus saya dorong. Dulu hampir setiap hari saya antar-jemput mereka ke sekolah, tapi sekarang sudah bisa pergi sendiri. Mereka senang sekolah,” kata Pak Syargawi. Sayangnya, sudah beberapa bulan ini mereka susah mandi akibat kemarau panjang yang mengeringkan semua sumber air di sekitar mereka – sungguh ironis, karena hanya seminggu kemudian, saya melihat berita di TV bahwa Jambi terendam banjir.
Tina Savitri