Sepintas lalu sepertinya kondisi itu tidak adil bagi mereka –yang notabene warganegara Indonesia juga. Namun, menurut M. Sutono atau Tono, Project Officer PNPM Peduli di Jambi, sebetulnya warga SAD sendiri lebih suka tinggal di dalam hutan dengan segala kesederhanaannya, karena bagi mereka hutan adalah ‘rumah’ sekaligus tempat mereka mencari nafkah selama ratusan tahun. Yang menjadi masalah, kini ‘rumah’ mereka terancam punah akibat pembalakan hutan maupun serbuan perkebunan kelapa sawit.
Nyaris tanpa bekal keahlian dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat modern untuk bertahan hidup, mereka ‘dipaksa’ keluar dari hutan dan hidup membaur dengan masyarakat ‘terang’ –sebutan warga SAD bagi masyarakat di luar hutan. Akibatnya, nasib mereka justru makin menyedihkan, karena kini mereka menghadapi berbagai masalah sosial dan ekonomi yang tak mereka kenal sebelumnya. Mulai dari kehilangan identitas, belum adanya pengakuan dari negara maupun komunitas sekitar, hilangnya sumber penghidupan, hingga ketidakberdayaan menghadapi perubahan drastis dalam kehidupan mereka –termasuk menghadapi serbuan konsumerisme.
Sementara itu, masyarakat ‘beradab’ juga belum sepenuhnya menerima kehadiran mereka, bahkan hingga sekarang. Buktinya, masyarakat masih sering menyebut mereka sebagai ‘Orang Kubu’ (kubu berarti jorok, primitif, kafir) –sebutan yang dibenci oleh warga SAD. “Bahkan masih banyak orang yang lari ketakutan bila kebetulan bertemu dengan warga Suku Anak Dalam di jalan,” ujar Tono.
Hasil Sensus Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi dan WARSI (2010) menyebutkan, populasi SAD sekitar 2.196 jiwa, yang tersebar dalam 17 rombong atau kelompok (satu rombong terdiri dari beberapa keluarga) di Bukit Dua Belas, Bukit Tiga Belas, dan wilayah sepanjang Jalan Lintas Tengah Sumatra, meliputi Kabupaten Merangin, Kabupaten Surolangun, Kaupaten Bungo, Kabupaten Batanghari, dan Kabupaten Dharmas Raya – yang terakhir ini termasuk Provinsi Sumatra Barat. Sulitnya melakukan pedataan ( karena sebagian dari mereka hidup di dalam hutan dan terpencar-pencar) serta perkiraan tingginya angka kematian ibu dan bayi akibat kondisi kesehatan yang jauh dari memadai, membuat keberadaan SAD kini terancam punah.