Ada banyak versi tentang asal-usul (salah satu) suku asli Sumatra yang hidup nomaden di hutan ini. Salah satunya, versi Departemen Sosial (1988) dalam seri masyarakat terasing di Nusantara. Disebutkan, pada pertengahan abad 17 terjadi perang antara Kerajaan Jambi yang dipimpin Puti Selaras Pinang Masak dengan Kerajaan Tanjung Jabung pimpinan Rangkayo Hitam. Raja Pagaruyung di tanah Minang, yang merupakan ayahanda dari Puti Selaras Pinang Masak, memutuskan untuk mengirim pasukan bantuan ke Kerajaan Jambi. Namun karena jarak yang ditempuh terlalu jauh, medannya sangat berat, dan kehabisan persediaan makanan, para prajurit itu tidak mampu mencapai Kerajaan Jambi. Tapi karena tak ingin menanggung malu bila pulang kembali ke Pagaruyung, mereka memutuskan untuk tinggal selamanya di hutan. Mereka itulah yang kemudian menjadi SAD.
Versi lain (Van Dongen, 1906) mengatakan, SAD adalah salah satu kelompok Melayu Tua dari rumpun Melanesia, sama seperti suku Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Batak pedalaman, dan Papua. Kelompok masyarakat Melayu Tua ini merupakan eksodus gelombang pertama dari Yunan (Cina selatan) yang masuk ke wilayah Nusantara sekitar tahun 2000 SM. Mereka kemudian lari dan tersingkir ke hutan ketika datang kelompok Melayu Muda yang mengusung peradaban lebih tinggi.
Keberadaan SAD –mereka sendiri lebih suka menyebut diri ‘Orang Rimba’ atau ‘Orang Sanak’— baru mulai terangkat ke permukaan dan menjadi kepedulian banyak pihak setelah Butet Manurung mendirikan ‘Sokola Rimba’ (sekolah rimba) bagi anak-anak SAD di Jambi dan diberitakan oleh banyak media, sekitar tahun 2004. Apa yang dilakukan Butet seolah membukakan mata sekaligus menyadarkan kita bahwa di tengah teknologi informasi canggih yang membuat Indonesia dan dunia tak lagi berbatas ini, masih ada saudara kita yang tinggal di tengah rimba, dengan teknologi primitif, dan tak bisa baca-tulis-hitung sama sekali.