Setelah berjam-jam naik mobil menyusuri jalan-jalan yang berkelok tajam, keluar-masuk nagari (setingkat kelurahan), dan menyeberangi sungai, baru pada tengah hari kami tiba di kaki sebuah bukit yang termasuk dalam wilayah Nagari Banai. “Siap-siap jalan kaki, ya. Dekat kok, paling cuma 7 kilometer,” kata Pandong S. Penra, Direktur Eksekutif Perkumpulan Peduli, LSM yang aktif mendampingi Suku Anak Dalam di Sumatra Barat.
Memang cuma 7 kilo, sih, tetapi yang kami daki bukan sembarang bukit. Selain jalan setapaknya naik-turun lumayan terjal, kami juga harus menerobos belantara yang pepohonannya masih rapat, di mana harimau dan beruang masih sering keluyuran, terutama di malam hari. Baru sekitar pukul 2 sore, dengan napas tersengal-sengal, kami tiba di pemukiman SAD dari Rombong Penyiram (ini nama pemimpinnya).
Bagai tersihir, mata kami langsung tertumbuk pada seorang perawan rimba yang berdiri terpaku di bawah sebuah pohon. Bagian dada dan pinggulnya tertutup belitan kain, sementara bagian perutnya terbuka. Rambutnya panjang sepinggang, terurai basah, tangannya menjinjing ember berisi cucian. Rupanya dia baru selesai mandi dan mencuci di sungai.
“Itu Dewi,” kata Pandong, memecah keterpukauan kami. Rupanya gadis ini lumayan populer di kalangan aktivis PNPM Peduli, karena memang paling cantik dan gaya. Tak lama kemudian dia menghilang ke dalam sudung, lalu muncul lagi. Kali ini penampilannya tak beda dengan gadis kota: memakai T-shirt merah menyala dan celana jeans model skinny. Di pergelangan tangannya melilit arloji bermodel trendi. “Saya sesekali memang tinggal di rumah famili di kampung Padang Harau. Di sana saya senang nonton teve dan lihat-lihat pasar,” kata Dewi dalam bahasa Indonesia berdialek Minang, sambil menggendong adik perempuannya, Nita, yang juga cantik.
Masalah yang dialami rombong Penyiram lain lagi. Para tetua adat (ninik mamak) Nagari Banai memang tidak keberatan hutan ulayat mereka didiami oleh Suku Anak Dalam. Mereka juga tidak keberatan warga SAD mengambil rotan, damar, atau jernang dari hutan untuk dijual. Pemkab Dharmas Raya bahkan telah mendaftarkan warga SAD di wilayahnya sebagai peserta Jaminan Kesehatan Daerah, sehingga mereka bisa mendapatkan pelayanan pengobatan gratis di puskesmas-puskesmas terdekat (meskipun dari desa terakhir menuju kaki bukit tempat kediaman rombong Penyiram ini membutuhkan waktu sekitar 2 jam naik mobil).
Yang menjadi masalah, ternyata warga SAD juga menganggap hutan yang mereka tinggali sebagai milik mereka. Akibatnya, baru-baru ini sempat terjadi keributan antara warga SAD dan masyarakat Nagari Banai. Pasalnya, warga SAD melarang penduduk desa memetik durian di hutan yang diklaim sebagai wilayah milik mereka. Meskipun perselisihan itu tidak berakhir dengan kekerasan fisik, tak urung hal itu menjadi pe-er panjang bagi PNPM Peduli, Pemkab Dharmas Raya, ninik mamak Nagari Banai, dan warga SAD, yang hingga kini masih terus diupayakan.
Meski ingin tetap tinggal di dalam hutan, Pak Penyiram mengaku tak ingin lagi hidup nomaden. Karena itu ia dan kelompoknya mulai belajar bercocok tanam, antara lain dengan menanam jagung, singkong, dan karet. Ia juga tak menolak program pengajaran baca-tulis-hitung kepada anak-anak anggota rombongnya, meskipun ia mengaku belum melihat kegunaannya untuk kehidupan mereka sehari-hari di hutan.
Melihat kedatangan kami, Eko S, tenaga pengajar dari PNPM Peduli, mengajak anak-anak asuhannya untuk memamerkan kepandaian mereka menulis dan menggambar di sebuah papan tulis yang dipasang di tengah hutan. Jari jemari mereka yang mungil tak lagi terlihat kaku saat memegang kapur dan menuliskan huruf demi huruf di atas papan tulis. Eko juga dengan bangga memperlihatkan gambar-gambar karya mereka di atas puluhan lembar kertas, lengkap dengan nama penggambarnya di bagian bawah kertas. Supaya mereka mau belajar, kata Eko, ia memadukannya dengan kegiatan bermain, sehingga tanpa terasa tahu-tahu mereka sudah bisa menulis dan membaca. Eko percaya bahwa kemampuan baca-tulis-hitung itu pasti akan ada gunanya bagi mereka di masa depan. Setuju!
Memang cuma 7 kilo, sih, tetapi yang kami daki bukan sembarang bukit. Selain jalan setapaknya naik-turun lumayan terjal, kami juga harus menerobos belantara yang pepohonannya masih rapat, di mana harimau dan beruang masih sering keluyuran, terutama di malam hari. Baru sekitar pukul 2 sore, dengan napas tersengal-sengal, kami tiba di pemukiman SAD dari Rombong Penyiram (ini nama pemimpinnya).
Bagai tersihir, mata kami langsung tertumbuk pada seorang perawan rimba yang berdiri terpaku di bawah sebuah pohon. Bagian dada dan pinggulnya tertutup belitan kain, sementara bagian perutnya terbuka. Rambutnya panjang sepinggang, terurai basah, tangannya menjinjing ember berisi cucian. Rupanya dia baru selesai mandi dan mencuci di sungai.
“Itu Dewi,” kata Pandong, memecah keterpukauan kami. Rupanya gadis ini lumayan populer di kalangan aktivis PNPM Peduli, karena memang paling cantik dan gaya. Tak lama kemudian dia menghilang ke dalam sudung, lalu muncul lagi. Kali ini penampilannya tak beda dengan gadis kota: memakai T-shirt merah menyala dan celana jeans model skinny. Di pergelangan tangannya melilit arloji bermodel trendi. “Saya sesekali memang tinggal di rumah famili di kampung Padang Harau. Di sana saya senang nonton teve dan lihat-lihat pasar,” kata Dewi dalam bahasa Indonesia berdialek Minang, sambil menggendong adik perempuannya, Nita, yang juga cantik.
Masalah yang dialami rombong Penyiram lain lagi. Para tetua adat (ninik mamak) Nagari Banai memang tidak keberatan hutan ulayat mereka didiami oleh Suku Anak Dalam. Mereka juga tidak keberatan warga SAD mengambil rotan, damar, atau jernang dari hutan untuk dijual. Pemkab Dharmas Raya bahkan telah mendaftarkan warga SAD di wilayahnya sebagai peserta Jaminan Kesehatan Daerah, sehingga mereka bisa mendapatkan pelayanan pengobatan gratis di puskesmas-puskesmas terdekat (meskipun dari desa terakhir menuju kaki bukit tempat kediaman rombong Penyiram ini membutuhkan waktu sekitar 2 jam naik mobil).
Yang menjadi masalah, ternyata warga SAD juga menganggap hutan yang mereka tinggali sebagai milik mereka. Akibatnya, baru-baru ini sempat terjadi keributan antara warga SAD dan masyarakat Nagari Banai. Pasalnya, warga SAD melarang penduduk desa memetik durian di hutan yang diklaim sebagai wilayah milik mereka. Meskipun perselisihan itu tidak berakhir dengan kekerasan fisik, tak urung hal itu menjadi pe-er panjang bagi PNPM Peduli, Pemkab Dharmas Raya, ninik mamak Nagari Banai, dan warga SAD, yang hingga kini masih terus diupayakan.
Meski ingin tetap tinggal di dalam hutan, Pak Penyiram mengaku tak ingin lagi hidup nomaden. Karena itu ia dan kelompoknya mulai belajar bercocok tanam, antara lain dengan menanam jagung, singkong, dan karet. Ia juga tak menolak program pengajaran baca-tulis-hitung kepada anak-anak anggota rombongnya, meskipun ia mengaku belum melihat kegunaannya untuk kehidupan mereka sehari-hari di hutan.
Melihat kedatangan kami, Eko S, tenaga pengajar dari PNPM Peduli, mengajak anak-anak asuhannya untuk memamerkan kepandaian mereka menulis dan menggambar di sebuah papan tulis yang dipasang di tengah hutan. Jari jemari mereka yang mungil tak lagi terlihat kaku saat memegang kapur dan menuliskan huruf demi huruf di atas papan tulis. Eko juga dengan bangga memperlihatkan gambar-gambar karya mereka di atas puluhan lembar kertas, lengkap dengan nama penggambarnya di bagian bawah kertas. Supaya mereka mau belajar, kata Eko, ia memadukannya dengan kegiatan bermain, sehingga tanpa terasa tahu-tahu mereka sudah bisa menulis dan membaca. Eko percaya bahwa kemampuan baca-tulis-hitung itu pasti akan ada gunanya bagi mereka di masa depan. Setuju!
Tina Savitri