Sayangnya, begitu memasuki kompleks kediaman tersebut, terlihat beberapa sentuhan modern yang tidak cocok dengan keadaan sekelilingnya. Ambil contoh, lantai di beberapa ruangan sudah diganti dengan keramik. Furniturnya pun terhitung sangat modern. Belum lagi bila melihat perangkat elektronik yang ada di sana. Memang kita tidak bisa mengingkari teknologi untuk tujuan melestarikan sejarah, namun alangkah baiknya kalau semua itu ditata sedemikian rupa seolah-olah seperti aslinya. Bangunan di sekitar rumah utama pun telah dipugar dengan gaya sekarang, menggunakan keramik mengkilap, lengkap dengan teralis besi.
Dari kamar Kartini, kami beranjak ke serambi belakang pendopo. Di area yang masih asli keadaannya ini, Kartini bersama kedua adiknya, Kardinah dan Roekmini, mendirikan sekolah pertama untuk gadis-gadis priayi bumiputera. Di sekolah tersebut, Kartini memberikan pelajaran yang kini dikenal dengan istilah kriya atau kerajinan, antara lain memahat, membatik, dan melukis. Pada masa ini pula Kartini memulai korespondensinya dengan sejumlah kenalannya di negeri Belanda, antara lain J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda beserta istrinya, Rosita Manuela Abendanon-Mandri. Kartini dan adik-adiknya mengenal pasangan ini pada kunjungan mereka di tahun 1900. Kepada Ny. Abendanon, Kartini mencurahkan suka duka kehidupannya. Surat-surat dalam bahasa Belanda inilah yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Lich, yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi Letters of a Javanese Princess, dan ke dalam Bahasa Indonesia: Habis Gelap Terbitlah Terang.