Juni 2013 lalu, ketika Nelson Mandela dikabarkan sekarat di rumah sakit Pretoria, rakyat Afrika Selatan resah. Belum ada yang rela membayangkan negeri mereka kehilangan sang ikon. Mereka tahu penyakitnya berat, usianya pun sudah lebih dari 90 tahun, tapi tetap saja orang enggan mengucapkan kalimat “Siyakukhulula tata” yang artinya, “Kami mengikhlaskan engkau pergi, Bapak.”
Kisah Nelson Mandela adalah cerita panjang seorang bocah di desa kecil Qunu yang berkembang menjadi perjuang kemerdekaan dan kemudian menjadi presiden pertama berkulit hitam di Afrika Selatan. Hingga kini masyarakat di sana tetap menganggapnya perekat yang mempersatukan seluruh negeri. Mereka percaya, berbagai tantangan sosial seperti kejahatan, kemiskinan, korupsi dan pengangguran, bisa diatasi berkat inspirasi yang dikobarkannya kepada para pemimpin.
Sekarang, ibarat buku yang tebal, halaman terakhir sudah ditutup. Mandela wafat 5 Desember lalu di rumahnya di Johannesburg. Namun isi ‘buku’ tersebut telah mengubah sejarah Afrika Selatan, bahkan dunia.
Mandela dilahirkan 18 Juli 1918 di desa kecil Mvezo, di tepi sungai Mbashe di Transkei, Afrika Selatan. Nama aslinya ‘Rolihlahla’, yang artinya: ‘menarik cabang pohon’ atau ‘pembuat onar’.
Atas saran kawan ayahnya, Mandela belajar agama dan dibaptis di Gereja Metodis. Dalam usia 7 tahun ia menjadi anak pertama di keluarganya yang bersekolah. Kalau biasanya ia hanya bersampirkan selimut di satu bahu, kini ia harus berpakaian sopan. Untuk itu ayahnya memotong celananya hingga ke lutut, lalu memasangkan tali dari pinggang menyilang ke bahu, agar tidak melorot.
Oleh gurunya ia diberi nama baru, Nelson. “Sekolahku hanya terdiri dari satu ruangan,” tutur Mandela dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom.
Ketika usianya 16 tahun, tibalah saatnya bagi Mandela untuk ikut serta dalam acara akil balik. Acara sunat ini dilakukan dengan ritual yang panjang dan rumit, bersama 25 remaja pria lainnya. Suasana hatinya yang riang berubah ketika Chief Meligqili, pembicara utama upacara, berbagi keresahan bahwa mereka dijadikan budak di negeri sendiri, karena tanah mereka telah dijajah oleh orang kulit putih. Saat itu Mandela belum paham benar apa maksudnya, karena masih menganggap orang kulit putih dermawan. Tapi lama-kelamaan kata-kata Chief mulai tertanam bagai benih di benaknya, yang tumbuh menjadi tekad untuk memerdekakan Afrika Selatan.
Sejak awal perjuangan politiknya, selama 20 tahun Mandela memimpin aksi-aksi damai tanpa kekerasan melawan pemerintah Afrika Selatan dan politiknya yang rasis, termasuk Defiant Campaign tahun 1952 dan Congress of the People tahun 1955.
Ia mendirikan perusahaan hukum Mandela dan Tambo, berpartner dengan Oliver Tambo, teman kuliahnya semasa di Fort Hare. Biro ini menyediakan bantuan hukum gratis atau murah untuk masyarakat berkulit hitam.
Kini keadaan sudah berbalik. Masyarakat kulit putih Afrika mau berbagi kekuasaan, namun kulit hitam menginginkan pergantian kekuasaan sepenuhnya. Negosiasi sering berlangsung alot, berita tentang ledakan-ledakan keras, termasuk dibunuhnya pemimpin ANC Chris Hani, beredar di seantero negeri. Mandela harus pandai-pandai menjaga keseimbangan antara negosiasi intensif dan perlawanan bersenjata.
Berkat perjuangan antiapartheid mereka, pada 1993 Mandela dan De Klerk bersama-sama menerima hadiah Nobel. Berkat mereka juga, negosiasi antara hitam dan putih terus berlangsung. Pada 27 April 1994, Afrika Selatan menyelenggarakan pemilihan umum demokratisnya yang pertama.
Nelson Mandela diangkat sebagai presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan pada 10 Mei 1994, dalam usia 77 tahun. De Klerk menjadi wakilnya. Pada tahun itu juga, ia menerbitkan otobiografinya, Long Walk to Freedom, yang ditulisnya di penjara. Tahun berikutnya, ia menerima Order of Merit dari Inggris.
Seiring usia, kesehatan Mandela menurun. Sejak 2011 ia bolak-balik dirawat di rumah sakit. Untuk ketiga kalinya tahun lalu, pada tanggal 8 Juni Mandela dirawat di rumah sakit Pretoria karena infeksi paru-paru yang parah. Dikabarkan, fungsi ginjal dan hatinya pun sudah tinggal 50 persen. Dan pada 5 Desember 2013, Nelson Mandela menghembuskan napas terakhir. Tak hanya rakyat Afrika Selatan, dunia pun berduka atas kepergiannya.
Kisah Nelson Mandela adalah cerita panjang seorang bocah di desa kecil Qunu yang berkembang menjadi perjuang kemerdekaan dan kemudian menjadi presiden pertama berkulit hitam di Afrika Selatan. Hingga kini masyarakat di sana tetap menganggapnya perekat yang mempersatukan seluruh negeri. Mereka percaya, berbagai tantangan sosial seperti kejahatan, kemiskinan, korupsi dan pengangguran, bisa diatasi berkat inspirasi yang dikobarkannya kepada para pemimpin.
Sekarang, ibarat buku yang tebal, halaman terakhir sudah ditutup. Mandela wafat 5 Desember lalu di rumahnya di Johannesburg. Namun isi ‘buku’ tersebut telah mengubah sejarah Afrika Selatan, bahkan dunia.
Mandela dilahirkan 18 Juli 1918 di desa kecil Mvezo, di tepi sungai Mbashe di Transkei, Afrika Selatan. Nama aslinya ‘Rolihlahla’, yang artinya: ‘menarik cabang pohon’ atau ‘pembuat onar’.
Atas saran kawan ayahnya, Mandela belajar agama dan dibaptis di Gereja Metodis. Dalam usia 7 tahun ia menjadi anak pertama di keluarganya yang bersekolah. Kalau biasanya ia hanya bersampirkan selimut di satu bahu, kini ia harus berpakaian sopan. Untuk itu ayahnya memotong celananya hingga ke lutut, lalu memasangkan tali dari pinggang menyilang ke bahu, agar tidak melorot.
Oleh gurunya ia diberi nama baru, Nelson. “Sekolahku hanya terdiri dari satu ruangan,” tutur Mandela dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom.
Ketika usianya 16 tahun, tibalah saatnya bagi Mandela untuk ikut serta dalam acara akil balik. Acara sunat ini dilakukan dengan ritual yang panjang dan rumit, bersama 25 remaja pria lainnya. Suasana hatinya yang riang berubah ketika Chief Meligqili, pembicara utama upacara, berbagi keresahan bahwa mereka dijadikan budak di negeri sendiri, karena tanah mereka telah dijajah oleh orang kulit putih. Saat itu Mandela belum paham benar apa maksudnya, karena masih menganggap orang kulit putih dermawan. Tapi lama-kelamaan kata-kata Chief mulai tertanam bagai benih di benaknya, yang tumbuh menjadi tekad untuk memerdekakan Afrika Selatan.
Sejak awal perjuangan politiknya, selama 20 tahun Mandela memimpin aksi-aksi damai tanpa kekerasan melawan pemerintah Afrika Selatan dan politiknya yang rasis, termasuk Defiant Campaign tahun 1952 dan Congress of the People tahun 1955.
Ia mendirikan perusahaan hukum Mandela dan Tambo, berpartner dengan Oliver Tambo, teman kuliahnya semasa di Fort Hare. Biro ini menyediakan bantuan hukum gratis atau murah untuk masyarakat berkulit hitam.
Kini keadaan sudah berbalik. Masyarakat kulit putih Afrika mau berbagi kekuasaan, namun kulit hitam menginginkan pergantian kekuasaan sepenuhnya. Negosiasi sering berlangsung alot, berita tentang ledakan-ledakan keras, termasuk dibunuhnya pemimpin ANC Chris Hani, beredar di seantero negeri. Mandela harus pandai-pandai menjaga keseimbangan antara negosiasi intensif dan perlawanan bersenjata.
Berkat perjuangan antiapartheid mereka, pada 1993 Mandela dan De Klerk bersama-sama menerima hadiah Nobel. Berkat mereka juga, negosiasi antara hitam dan putih terus berlangsung. Pada 27 April 1994, Afrika Selatan menyelenggarakan pemilihan umum demokratisnya yang pertama.
Nelson Mandela diangkat sebagai presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan pada 10 Mei 1994, dalam usia 77 tahun. De Klerk menjadi wakilnya. Pada tahun itu juga, ia menerbitkan otobiografinya, Long Walk to Freedom, yang ditulisnya di penjara. Tahun berikutnya, ia menerima Order of Merit dari Inggris.
Seiring usia, kesehatan Mandela menurun. Sejak 2011 ia bolak-balik dirawat di rumah sakit. Untuk ketiga kalinya tahun lalu, pada tanggal 8 Juni Mandela dirawat di rumah sakit Pretoria karena infeksi paru-paru yang parah. Dikabarkan, fungsi ginjal dan hatinya pun sudah tinggal 50 persen. Dan pada 5 Desember 2013, Nelson Mandela menghembuskan napas terakhir. Tak hanya rakyat Afrika Selatan, dunia pun berduka atas kepergiannya.
Simak kisah lengkap biografi mini Nelson Mandela di Majalah Pesona edisi Januari 2014.