Anak tunggal menjadi tidak populer dan sulit diterima di lingkungan pergaulan karena sifat-sifatnya yang manja, egosentris, dan antisosial. Karena selalu dituruti segala keinginannya, maka ia menjadi anak yang 'cengeng' dan kurang memiliki daya juang untuk memperoleh sesuatu.
Sebaliknya dari segi akademis, para anak tunggal justru menonjol, bahkan banyak yang tumbuh menjadi anak jenius. Bisa dipahami karena orangtua akan memberi stimulasi maksimal kepada anaknya yang semata wayang sesuai dengan perkembangan usia mereka.
Kenyataannya, tidak semua anak tunggal memiliki perilaku buruk dan manja. “Sejak kecil orang tua selalu memberikan kebebasan bergaul dan saya tidak pernah merasa dimanja. Saya juga tidak pernah merasa kesepian karena selalu punya teman,” ujar Sagita Utama, manajer iklan sebuah majalah lifestyle. “Sebaliknya saya malah sering jadi tempat curhat teman-teman,” imbuhnya.
Menurut DR. Rose Mini, M.Psi, psikolog pendidikan dari Universitas Indonesia, semua berpulang pada pengasuhan lingkungan, dalam hal ini orangtua. Perkembangan anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor nature (bawaan) dan nurture (pengasuhan dan pengaruh lingkungan). Sekalipun anak tunggal, kalau ia dilahirkan dari orangtua yang punya jiwa sosial tinggi, tentunya akan membawa gen yang sama. Sebaliknya, jika ia tidak pernah diasah kepekaan sosialnya sejak kecil, ia bisa menjadi anak yang cuek atau apatis terhadap lingkungannya.
Berkaca dari pengalaman pribadinya sebagai anak tunggal, Romy, panggilan akrab Dr. Rose Mini, justru dilatih mandiri dan diberi keleluasaan bergaul oleh ibunya. “Bahkan ibu saya mendidik cukup ketat. Kalau mau tambahan uang saku, saya harus belajar mencari uang sendiri. Jadi sejak kecil saya terbiasa jualan kue, aksesori, atau apa saja. Itulah cara ibu saya mengajarkan untuk survive,” kisah Romy.
Sayangnya, psikolog yang juga memiliki anak tunggal ini mengakui kebanyakan orangtua selain memberikan perhatian yang berlebihan, juga bersikap overprotektif. Terutama jika si ibu punya pengalaman traumatik, seperti mengalami keguguran berulang sebelum melahirkan sang anak. Perlakuan ini bisa mengganggu kebebasan anak bereksplorasi dan menghambat rasa percaya dirinya.
“Sebaiknya orangtua bicara dari hati ke hati dengan sang anak apa yang mereka cemaskan. Hal inilah yang saya terapkan kepada Laras, anak saya. Karena kami selalu terbuka, akhirnya ia bisa memahami kecemasan saya. Semakin besar, ia bisa meyakinkan saya bahwa ia bisa menjaga diri dengan baik sehingga saya pun pelan-pelan belajar mengendalikan rasa cemas saya,” ungkap Romy berbagi pengalaman. Sementara kalau untuk menanamkan jiwa sosial, Romy punya cara tersendiri. “Saya selalu ingatkan dia untuk memberikan sesuatu yang lebih baik dari yang kita miliki kepada orang lain.”
Selain orangtua, yang perlu dibenahi adalah perlakuan orang-orang terdekat di sekitar kita. Sejak kecil seorang anak tunggal terbiasa dikelilingi orang-orang dewasa. Mulai dari paman, tante, kakek-neneknya, dan teman-teman orangtua mereka. Karena kondisi inilah, mereka selalu dianggap istimewa. Sehingga ia agak sulit menerima kritik maupun penolakan dari orang lain. “Jadi ingatkan kepada kerabat tersebut agar tidak memperlakukan anak kita seperti anak emas. Kalau mereka salah, ya ditegur. Kita mesti konsisten menerapkan pola asuh agar anak tidak bingung,” saran Romy.