Butuh waktu sekitar 2 jam untuk sampai ke Masjid Al-Alam atau dikenal dengan sebutan “Masjid Si Pitung” yang berlokasi di wilayah Marunda, Jakarta Utara. Karena kondisi jalan yang menyempit, mobil tak bisa diparkir dekat masjid sehingga kami harus berjalan kaki sekitar 100 meter. Setelah menyeberangi jembatan kayu dengan aliran kali di bawahnya yang berwarna keruh, kami langsung disambut dengan rumah panggung khas Betawi yang disebut sebagai Rumah Si Pitung, sang Jawara Betawi. Tak jauh dari rumah tersebut, kami memasuki area Masjid Al-Alam. Lokasinya berada di pinggir pantai Marunda dengan pemandangan dermaga tempat kapal-kapal berlabuh serta laut lepas yang di kejauhan tampak menyatu dengan langit yang berwarna biru.
Walaupun dijuluki Masjid Si Pitung, namun masjid ini bukan dibangun oleh Sang Jawara Betawi tersebut. Hanya saja, kabarnya Pitung seringkali bertandang ke masjid ini untuk beribadah maupun bersembunyi sambil mengatur strategi dengan teman seperjuangannya melawan kompeni. Menurut HM Sambo Ishak, salah seorang pengurus masjid, ada beberapa versi kisah pembangunan masjid ini. Kisah pertama menyatakan bahwa masjid ini dibangun oleh Fatahillah, panglima pasukan Kesultanan Demak dan Cirebon dalam menghadapi Portugis di Sunda Kelapa. Sementara kisah lain mengatakan bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1640 oleh Wali Songo dalam satu hari satu malam saat menempuh perjalanan dari Banten ke Jawa. Bahkan, ada kisah yang cukup populer di tengah masyarakat setempat, yakni ketika terjadi peristiwa meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883, seluruh wilayah Marunda terendam air laut kecuali masjid ini.
Meskipun sudah termakan waktu, kondisi Masjid Al-Alam tampak cukup terawat. Memasuki area masjid tampak bangunan sederhana dengan atap mirip joglo yang bersusun dua. Tak terlihat menara ataupun kubah yang megah yang menjadi ciri khas bangunan masjid di negeri ini. Suara azan Zuhur tiba-tiba berkumandang melalui pengeras suara yang terdengar jernih. Wah, ternyata bangunan masjid yang terbilang sederhana itu dilengkapi sound system yang cukup canggih juga.
Di dekat masjid, terdapat sebuah sumur tua yang masih bisa digunakan untuk tempat wudu. Saat berkumur, airnya terasa tawar. Agak aneh, mengingat lokasi masjid ini di pinggir laut. “Air sumur ini memiliki tiga rasa yaitu asin, tawar dan payau. Kalau ada tiga orang yang mencicipi air sumur ini biasanya rasanya berbeda-beda. Entah kenapa bisa begitu. Bahkan ada yang percaya air ini bisa mengobati penyakit,” papar Sambo. Di musim kemarau sekalipun, sumur itu tak pernah sampai kekeringan. Setelah berwudu, kulit wajah yang seperti terbakar sinar matahari yang terik, langsung terasa lebih segar.
Langkah kami bergeser ke bangunan di sebelahnya yang bernuansa rumah Betawi. Bangunan masjid ini dilengkapi serambi yang dikelilingi tembok setinggi lutut serta jajaran kayu ulin berbentuk bulat. Memasuki ruang utama yang berbentuk bujur sangkar berukuran 8x8 meter, tampak empat pilar kokoh khas gaya kolonial yang berdiri di tengah menyangga atap. Tinggi plafon hanya 2,2 meter, lebih rendah dibandingkan masjid-masjid tua umumnya. Sinar matahari seakan berlomba-lomba untuk masuk ke dalam ruangan melalui jendela kayu. Saat menunaikan salat Zuhur, semilir angin berhembus dari sela jendela yang membuat suasana hati semakin damai.
Walaupun dijuluki Masjid Si Pitung, namun masjid ini bukan dibangun oleh Sang Jawara Betawi tersebut. Hanya saja, kabarnya Pitung seringkali bertandang ke masjid ini untuk beribadah maupun bersembunyi sambil mengatur strategi dengan teman seperjuangannya melawan kompeni. Menurut HM Sambo Ishak, salah seorang pengurus masjid, ada beberapa versi kisah pembangunan masjid ini. Kisah pertama menyatakan bahwa masjid ini dibangun oleh Fatahillah, panglima pasukan Kesultanan Demak dan Cirebon dalam menghadapi Portugis di Sunda Kelapa. Sementara kisah lain mengatakan bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1640 oleh Wali Songo dalam satu hari satu malam saat menempuh perjalanan dari Banten ke Jawa. Bahkan, ada kisah yang cukup populer di tengah masyarakat setempat, yakni ketika terjadi peristiwa meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883, seluruh wilayah Marunda terendam air laut kecuali masjid ini.
Meskipun sudah termakan waktu, kondisi Masjid Al-Alam tampak cukup terawat. Memasuki area masjid tampak bangunan sederhana dengan atap mirip joglo yang bersusun dua. Tak terlihat menara ataupun kubah yang megah yang menjadi ciri khas bangunan masjid di negeri ini. Suara azan Zuhur tiba-tiba berkumandang melalui pengeras suara yang terdengar jernih. Wah, ternyata bangunan masjid yang terbilang sederhana itu dilengkapi sound system yang cukup canggih juga.
Di dekat masjid, terdapat sebuah sumur tua yang masih bisa digunakan untuk tempat wudu. Saat berkumur, airnya terasa tawar. Agak aneh, mengingat lokasi masjid ini di pinggir laut. “Air sumur ini memiliki tiga rasa yaitu asin, tawar dan payau. Kalau ada tiga orang yang mencicipi air sumur ini biasanya rasanya berbeda-beda. Entah kenapa bisa begitu. Bahkan ada yang percaya air ini bisa mengobati penyakit,” papar Sambo. Di musim kemarau sekalipun, sumur itu tak pernah sampai kekeringan. Setelah berwudu, kulit wajah yang seperti terbakar sinar matahari yang terik, langsung terasa lebih segar.
Langkah kami bergeser ke bangunan di sebelahnya yang bernuansa rumah Betawi. Bangunan masjid ini dilengkapi serambi yang dikelilingi tembok setinggi lutut serta jajaran kayu ulin berbentuk bulat. Memasuki ruang utama yang berbentuk bujur sangkar berukuran 8x8 meter, tampak empat pilar kokoh khas gaya kolonial yang berdiri di tengah menyangga atap. Tinggi plafon hanya 2,2 meter, lebih rendah dibandingkan masjid-masjid tua umumnya. Sinar matahari seakan berlomba-lomba untuk masuk ke dalam ruangan melalui jendela kayu. Saat menunaikan salat Zuhur, semilir angin berhembus dari sela jendela yang membuat suasana hati semakin damai.