Ibu merupakan sosok perempuan pertama yang dikenal putrinya dan menjadi role model ketika mereka dewasa nanti. Secara fisik, mereka sama-sama perempuan sehingga lebih mudah terjadi proses identifikasi. Segala gerak-gerik, ucapan, dan sikap ibu -disadari atau tidak- akan ditiru oleh putrinya. Itulah mengapa ada ungkapan 'like mother lie daughter'.
Meski begitu, ada juga beberapa kasus di mana ibu menjadi tokoh antagonis yang dibenci oleh puterinya sendiri. Mungkin karena para ibu tersebut tidak biasa atau tidak mau menunjukkan sisi keibuannya.
Deborah Tanne, PhD, penulis buku You're Wearing That? Understanding Mothers and Daughters in Conversation, mengemukakan salah satu penyebab masalah di antara ibu dan anak perempuannya, yaitu pola komunikasi.
Konflik biasanya muncul di saat ibu memasuki usia 30-40 tahunan -di mana mereka juga punya ambisi pribadi untuk mengembangkan karier- dan anak perempuannya memasuki usia remaja. Pada masa ini seringkali timbul perbedaan pandangan dan harapan di antara keduanya. Misalnya, sang ibu ingin anaknya lebih mandiri. Tapi di sisi lain, ia masih ikut campur mengurus penampilan putrinya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Dari penelitiannya selama 5 tahun. Tannen menunjukkan beberapa pola komunikasi yang kurang sehat. Para ibu ini jarang atau sulit mengungkapkan perasaannya secara terbuka kepada putrinya. Mungkin karena dulu ibu mereka juga tidak pernah mengajarkan kebiasaan tersebut. Ditambah dengan kekhawatiran terhadap pergaulan bebas anak zaman sekarang, seornag ibu bisa menjadi over protective atau control-freak. Ia ingin mengontrol semua aspek kehidupan putrinya, cara bersikap, sampai memilih pasangan hidup.
Reaksi anak terhadap sikap ibunya pun berbeda-beda. Ada tipe anak yang patuh, tetapi ada pula anak yang menyikapi ibunya dengan memberontak. Mereka akan melakukan hal-hal yang justru bertentangan atau tidak disukai ibunya. Masalah komunikasi antara ibu dan putrinya juga bisa disebabkan karena adanya kesenjangan generasi. Kalau kita diajarkan untuk sangat hati-hati mengutarakan perasaan kepada orang lain, anak-anak sekarang dengan mudahnya mengunggah unek-unek mereka di media sosial.
Ada nasihat mengatakan "didiklah anakmu sesuai dengan zamannya". Karena itu mau tak mau kita memang perlu menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Kita perlu belajar menguasai teknologi, perlu mencari tahu apa saja yang sedang in di kalangan anak-anak kita. Dengan begitu, kita bisa memahami sikap mereka dan bicara dalam bahasa yang sama.
Idealnya, menurut Tanne, hubungan ibu dan putrinya dilandasi oleh rasa saling percaya dan saling menghargai keinginan masing-masing. Walaupun kita senang menjadi sahabat mereka, tetapi dalam kesempatan tertentu, mereka tetap membutuhkan sosok ibu yang dapat memeluk mereka saat sedang galau atau menerima mereka apa adanya dengan penuh cinta. Dan yang terpenting, anak bisa menerima ibu sebagai manusia biasa yang juga bisa berbuat salah di masa lalunya. Terkadang, karena terlalu ingin melindungi putri kita, kita lupa bahwa peran seorang ibu bukanlah menyelesaikan masalah yang dihadapi putri kita. Tetapi untuk memberi mereka ruang yang kondusif untuk berkembang dan menemukan jati diri mereka.
Meski begitu, ada juga beberapa kasus di mana ibu menjadi tokoh antagonis yang dibenci oleh puterinya sendiri. Mungkin karena para ibu tersebut tidak biasa atau tidak mau menunjukkan sisi keibuannya.
Deborah Tanne, PhD, penulis buku You're Wearing That? Understanding Mothers and Daughters in Conversation, mengemukakan salah satu penyebab masalah di antara ibu dan anak perempuannya, yaitu pola komunikasi.
Konflik biasanya muncul di saat ibu memasuki usia 30-40 tahunan -di mana mereka juga punya ambisi pribadi untuk mengembangkan karier- dan anak perempuannya memasuki usia remaja. Pada masa ini seringkali timbul perbedaan pandangan dan harapan di antara keduanya. Misalnya, sang ibu ingin anaknya lebih mandiri. Tapi di sisi lain, ia masih ikut campur mengurus penampilan putrinya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Dari penelitiannya selama 5 tahun. Tannen menunjukkan beberapa pola komunikasi yang kurang sehat. Para ibu ini jarang atau sulit mengungkapkan perasaannya secara terbuka kepada putrinya. Mungkin karena dulu ibu mereka juga tidak pernah mengajarkan kebiasaan tersebut. Ditambah dengan kekhawatiran terhadap pergaulan bebas anak zaman sekarang, seornag ibu bisa menjadi over protective atau control-freak. Ia ingin mengontrol semua aspek kehidupan putrinya, cara bersikap, sampai memilih pasangan hidup.
Reaksi anak terhadap sikap ibunya pun berbeda-beda. Ada tipe anak yang patuh, tetapi ada pula anak yang menyikapi ibunya dengan memberontak. Mereka akan melakukan hal-hal yang justru bertentangan atau tidak disukai ibunya. Masalah komunikasi antara ibu dan putrinya juga bisa disebabkan karena adanya kesenjangan generasi. Kalau kita diajarkan untuk sangat hati-hati mengutarakan perasaan kepada orang lain, anak-anak sekarang dengan mudahnya mengunggah unek-unek mereka di media sosial.
Ada nasihat mengatakan "didiklah anakmu sesuai dengan zamannya". Karena itu mau tak mau kita memang perlu menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Kita perlu belajar menguasai teknologi, perlu mencari tahu apa saja yang sedang in di kalangan anak-anak kita. Dengan begitu, kita bisa memahami sikap mereka dan bicara dalam bahasa yang sama.
Idealnya, menurut Tanne, hubungan ibu dan putrinya dilandasi oleh rasa saling percaya dan saling menghargai keinginan masing-masing. Walaupun kita senang menjadi sahabat mereka, tetapi dalam kesempatan tertentu, mereka tetap membutuhkan sosok ibu yang dapat memeluk mereka saat sedang galau atau menerima mereka apa adanya dengan penuh cinta. Dan yang terpenting, anak bisa menerima ibu sebagai manusia biasa yang juga bisa berbuat salah di masa lalunya. Terkadang, karena terlalu ingin melindungi putri kita, kita lupa bahwa peran seorang ibu bukanlah menyelesaikan masalah yang dihadapi putri kita. Tetapi untuk memberi mereka ruang yang kondusif untuk berkembang dan menemukan jati diri mereka.
Shinta Kusuma