
Tentu tidak semua orang cocok dengan gaya berlibur seperti ini. Karena, seperti kata Linda D. Ibrahim, sosiolog dari Universitas Indonesia, bagi kebanyakan orang Indonesia, berlibur –khususnya ke luar negeri– masih merupakan status simbol. Yang penting hanyalah bisa menjejakkan kaki di sebanyak-banyaknya tempat, berfoto (dengan latar belakang lanskap-lanskap tertentu), dan... belanja! Berlibur untuk menikmati dan mempelajari budaya lokal, sekaligus melepaskan penat, belum lagi menjadi tujuan utama wisatawan kita. Akibatnya, selepas liburan, tubuh malah tambah lelah dan tak sedikit yang justru terjerat utang.
Mungkin memang cuma orang-orang tertentu yang senang bersepeda menyusuri desa, berperahu, atau memilih bermobil dan naik kereta ketimbang naik pesawat udara (yang ‘dituduh’ berkontribusi besar dalam pemanasan global). Selain itu, ‘slow’ itinerary bisa jadi membuat Anda bosan. Tapi bisa mengenal orang baru, daerah baru, dan budaya baru selama berlibur tentu akan meninggalkan kesan berbeda ketimbang gaya liburan kilat dan hanya berkutat di kota-kota besar.
Bagaimanapun cara Anda biasanya berlibur, alternatif yang menekankan pentingnya slowing down ini mungkin layak dipertimbangkan. Pasti akan terasa bedanya bagi kita yang terbiasa hidup terjadwal dari hari ke hari –sampai ke menit-menitnya– bila sesekali menikmati gaya berlibur yang satu ini: waktu serasa berhenti dan dunia menjadi datar. Berminat mencoba slow travel? Klik saja: SlowTrav.com, SlowMovement.com, atau LowCarbonTravel.com
Hannie Kusuma