
Slow travel –seperti halnya slow food– adalah sebuah seni menikmati kembali proses dalam melakukan sesuatu, dalam hal ini adalah menikmati liburan di suatu tempat. Membicarakan slow travel tak dapat lepas dari slow food movement –gerakan yang muncul di Italia pada era 1980-an sebagai protes atas dibukanya gerai makanan cepat saji McDonald’s di Roma. Tujuan gerakan itu adalah melindungi otentisitas seni kuliner lingkungan, pertanian lokal, dan hidangan yang disiapkan melalui cara-cara yang diwariskan turun-temurun. Inisiatif budaya ini, menurut Rhydwen Mari dalam bukunya Slow Traveler, menekankan pentingnya suatu pertalian atau hubungan. Baik itu hubungan dengan makanan atau hubungan kekerabatan. Dalam kaitannya dengan travel adalah adanya hubungan antara wisatawan dengan penduduk dan budaya lokal.
Sesuai dengan namanya, slow traveling berarti tinggal beberapa lama di sebuah destinasi. Konsepnya selaras dengan gerakan slow life, karena dengan begitu lebih sedikit yang dilihat, lebih sedikit yang dibelanjakan, dan lebih sedikit jejak kaki tertinggal di daerah tujuan. Bentuknya pasti bukan tur ‘lima kota dalam dua minggu’ di Turki atau Eropa. Sebaliknya, slow travel adalah cara untuk mengeksplorasi kultur yang tidak pernah Anda kenal sebelumnya, mencoba menyatu dengan kebiasaan masyarakat lokal, mencoba moda transportasi sehari-hari mereka, dan sebagainya.

Bayangkan momen-momen indah seperti ini: Anda tinggal 1-2 minggu di sebuah desa mungil yang indah –bisa di luar kota Melbourne, di pinggiran Lembang, atau di Ubud– membeli bahan pangan segar di pasar tradisional, menghirup secangkir kopi yang baru digiling, menikmati seni kuliner lokal, menemukan keindahan dan keaslian akomodasi lokal (misalnya losmen yang dibangun dengan material lokal serta didesain agar berkesinambungan dengan lingkungan alamiah dan budaya sekitar), berjalan-jalan sambil menikmati alam yang cantik, serta mematikan semua ponsel cerdas yang akan membuat Anda teringat pekerjaan.
Bagi para slow traveler, ketergesaan dalam berpindah dari satu tempat ke tempat lain sangat dihindari. A deeper travel experience adalah ungkapan yang pas untuk menggambarkan konsep ini. Pendiri SlowTrav.com, Pauline Kenny, menulis di situsnya: “Slow travelers berasumsi bahwa mereka tidak harus melihat segalanya dalam sebuah perjalanan, sebab selalu ada kesempatan lain untuk melihat yang belum sempat dilihat.”
Bagi mereka, soal destinasi memang bukan yang terpenting. Yang lebih utama adalah mindset. Dengan sedikit perencanaan, Anda bisa ber-slow travel di hampir semua tempat. Tak usah ke ujung dunia, Indonesia pun memiliki banyak kawasan yang kaya akan budaya lokal. Makanannya pun tak akan terlalu asing di lidah, dan bahasa bukan kendala.