Meski sudah berkali-kali berkunjung ke Switzerland atau Swiss, saya tak pernah berhenti berdecak kagum. Bukan kota-kota besarnya yang membuat saya terpesona –karena di mata saya terlihat hampir sama dengan kota-kota besar lain di Eropa — melainkan kota-kota kecilnya yang dikelilingi Pegunungan Alpen yang selalu berselimut salju.
Matterhorn, berselimut salju abadi
Rupanya Dewi Fortuna memang tengah berpihak pada kami. Tak hanya meminjamkan rumahnya, tuan rumah juga memberi kami tiket transportasi gratis untuk satu hari. Dan ketika kami siap ngeluyur, matahari bersinar cerah dan langit sangat biru dan bebas awan. Padahal di setiap musim peralihan (dari musim semi ke musim panas), cuaca di sini sering berubah-ubah. Hujan bisa turun tiga hari berturut-turut dan temperatur anjlok mencapai 4 derajat Celcius.
Pagi-pagi sekali kami naik bus ke Stasiun Richterswill, lalu naik kereta menuju Stasiun Zurich, dan terus berganti-ganti kereta selama 4 jam, sebelum akhirnya tiba di kota tujuan, Zermatt. Zermatt merupakan salah satu kota wisata yang paling populer di Eropa dan sepanjang tahun selalu ramai dipenuhi wisatawan. Di kiri-kanan jalan tampak deretan hotel, restoran, kafe, serta toko-toko suvenir. Di ujung jalan tampak gereja dan perpustakaan tua yang antik dan cantik.
Tujuan utama kami adalah Puncak Gornergrat. Untuk mencapai tempat itu, kami harus naik kereta khusus dengan tiket seharga 78 franc Swiss, bersama ratusan wisatawan lain. Sepanjang perjalanan yang memakan waktu satu jam itu, kami tak henti disuguhi pemandangan yang mengagumkan, termasuk rumah-rumah kayu tradisional yang cerobongnya mengeluarkan asap. Tanpa disadari, kota Zermatt sudah berada nun di bawah sana, karena kami sudah berada di ketinggian 2000 mdpl. Kereta berjalan perlahan sembari terus menanjak sehingga memudahkan para penumpang mengambil gambar dengan kamera atau video cam.