Hanya semalam di Nha Trang (baca artikel tentang Nha Trang di sini), kami terbang lagi ke Hanoi, sebagai basis menuju Ha Long Bay. Bagi kebanyakan turis, teluk ini merupakan tujuan utama untuk menikmati keindahan alamnya. Saya pun jadi penasaran, seperti apa sih, situs heritage UNESCO yang telah mendapat anugerah sebagai salah satu dari tujuh keajaiban alam di dunia ini?
Sesampai di dermaga, hujan rintik-rintik membuat saya cemas, bisakah kami melihat jelas pemandangan alam yang tersohor itu? Untunglah setelah naik kapal tender yang mengangkut kami ke kapal pesiar, cuaca berangsur membaik. Selama kami bersantap siang di ruang makan yang dikelilingi kaca, tanpa terasa kapal bergerak maju, dan pulau-pulau itu pun saling menampakkan diri, seperti muncul dari dalam air. “Lihat, itu pulau adu ayam. Ada juga yang menyebutnya kissing rocks,” kata pemandu. Sepasang batu karang memang kelihatan seperti ayam berlaga atau sepasang kekasih yang sedang berciuman. Tentunya tergantung siapa yang melihat dan bagaimana suasana hatinya saat itu…
Menurut legenda, suatu ketika Vietnam diserang pendatang dari Cina. Untuk membantu mereka membela negara, dewa-dewa mengirimkan ibu naga dan anak-anaknya. Naga-naga ini memuntahkan permata, yang segera berubah jadi pulau-pulau karang, berderet-deret membentuk benteng. Batu karang yang muncul tiba-tiba ini menghadang kapal-kapal musuh dan membuatnya saling bertabrakan. Setelah menang perang, naga-naga ini merasa betah dan tetap tinggal di teluk. Tempat ibu naga turun ke air itu kemudian disebut Ha Long, yang artinya naga bergerak turun.
Di teluk ini tersebar lebih 3000 pulau. Beberapa di antaranya kosong, sehingga membentuk gua yang besar. Yang terbesar menjadi tujuan kami hari itu. Sung Sot Cave (Cave of Surprises) mendapat namanya dari seorang laksamana Prancis yang menemukannya dan tercengang melihat ukurannya yang demikian besar.
Begitu turun dari kapal tender, kami mendaki undakan-undakan yang membuat keringat mengucur deras dan jantung berdebar kencang. Untunglah pemandangan di dalam gua begitu memikat, sehingga jerih payah itu terbayar lunas seketika. Di ‘ruangan’ yang luas itu bermunculan stalaktit dan stalagmit dalam berbagai bentuk, Salah satu formasi batu yang rendah dianggap mirip kura-kura, hewan yang dianggap suci di Vietnam. Di sisinya terlihat tumpukan uang kertas yang dilempar para pengunjung yang meminta ‘hoki’, kesehatan, atau apa pun. Gua penuh kejutan itu luasnya sekitar 10.000 meter persegi, dan telah dilengkapi lampu yang membuat pemandangan di dalamnya semakin cantik. Kami keluar dari gua melalui mulutnya yang satu lagi.
Sore itu kami mengunjungi Pulau Ti Top (namanya diambil dari nama astronot Uni Soviet, Titov, yang datang ke sini bersama Ho Chi Minh pada tahun 1962). Berpasir landai dan berair jernih, tempat ini ideal untuk berenang atau sekadar duduk-duduk di pasir menunggu matahari terbenam.
Aktivitas lain yang tak kalah menarik adalah berkano ke Pulau Monyet, yang memiliki semacam danau yang dikelilingi darat. Kano berjalan pelan ketika melewati ‘mulut’ danau yang rendah, sehingga kami harus merundukkan kepala agar tak kejeduk.
Malam itu di kamar saya yang sempit di kapal pesiar, saya tertidur lebih lelap daripada di hotel mana pun selama perjalanan.
Sesampai di dermaga, hujan rintik-rintik membuat saya cemas, bisakah kami melihat jelas pemandangan alam yang tersohor itu? Untunglah setelah naik kapal tender yang mengangkut kami ke kapal pesiar, cuaca berangsur membaik. Selama kami bersantap siang di ruang makan yang dikelilingi kaca, tanpa terasa kapal bergerak maju, dan pulau-pulau itu pun saling menampakkan diri, seperti muncul dari dalam air. “Lihat, itu pulau adu ayam. Ada juga yang menyebutnya kissing rocks,” kata pemandu. Sepasang batu karang memang kelihatan seperti ayam berlaga atau sepasang kekasih yang sedang berciuman. Tentunya tergantung siapa yang melihat dan bagaimana suasana hatinya saat itu…
Menurut legenda, suatu ketika Vietnam diserang pendatang dari Cina. Untuk membantu mereka membela negara, dewa-dewa mengirimkan ibu naga dan anak-anaknya. Naga-naga ini memuntahkan permata, yang segera berubah jadi pulau-pulau karang, berderet-deret membentuk benteng. Batu karang yang muncul tiba-tiba ini menghadang kapal-kapal musuh dan membuatnya saling bertabrakan. Setelah menang perang, naga-naga ini merasa betah dan tetap tinggal di teluk. Tempat ibu naga turun ke air itu kemudian disebut Ha Long, yang artinya naga bergerak turun.
Di teluk ini tersebar lebih 3000 pulau. Beberapa di antaranya kosong, sehingga membentuk gua yang besar. Yang terbesar menjadi tujuan kami hari itu. Sung Sot Cave (Cave of Surprises) mendapat namanya dari seorang laksamana Prancis yang menemukannya dan tercengang melihat ukurannya yang demikian besar.
Begitu turun dari kapal tender, kami mendaki undakan-undakan yang membuat keringat mengucur deras dan jantung berdebar kencang. Untunglah pemandangan di dalam gua begitu memikat, sehingga jerih payah itu terbayar lunas seketika. Di ‘ruangan’ yang luas itu bermunculan stalaktit dan stalagmit dalam berbagai bentuk, Salah satu formasi batu yang rendah dianggap mirip kura-kura, hewan yang dianggap suci di Vietnam. Di sisinya terlihat tumpukan uang kertas yang dilempar para pengunjung yang meminta ‘hoki’, kesehatan, atau apa pun. Gua penuh kejutan itu luasnya sekitar 10.000 meter persegi, dan telah dilengkapi lampu yang membuat pemandangan di dalamnya semakin cantik. Kami keluar dari gua melalui mulutnya yang satu lagi.
Sore itu kami mengunjungi Pulau Ti Top (namanya diambil dari nama astronot Uni Soviet, Titov, yang datang ke sini bersama Ho Chi Minh pada tahun 1962). Berpasir landai dan berair jernih, tempat ini ideal untuk berenang atau sekadar duduk-duduk di pasir menunggu matahari terbenam.
Aktivitas lain yang tak kalah menarik adalah berkano ke Pulau Monyet, yang memiliki semacam danau yang dikelilingi darat. Kano berjalan pelan ketika melewati ‘mulut’ danau yang rendah, sehingga kami harus merundukkan kepala agar tak kejeduk.
Malam itu di kamar saya yang sempit di kapal pesiar, saya tertidur lebih lelap daripada di hotel mana pun selama perjalanan.
Belinda Gunawan