Rasanya bukan rahasia lagi bahwa Jeddah adalah salah satu ‘surga belanja’ di dunia, khususnya bagi penggemar barang-barang branded asli tapi dengan harga miring. Selama ini, jemaah haji dan umrah dari Indonesia hanya familiar dengan pusat perbelanjaan Balad. Nama tempat ini sebenarnya Corniche Commercial Center. Bangunannya sudah tua dan model kios-kiosnya mirip dengan pusat perbelanjaan ITC di Jakarta. Jadi wajar saja jika tak banyak yang tahu wajah lain pusat perbelanjaan di kota tempat berkumpulnya para ekspatriat ini.
Sebenarnya banyak sekali mal besar yang tersebar di berbagai penjuru Jeddah. Sebut saja Red Sea Mall, yang paling luas dan megah, Mal ini letaknya memang bukan di jantung kota, melainkan agak ke pinggir utara, tepatnya di King Abdul Aziz Road. Mal megah ini bahkan punya lebih dari 10 pintu masuk. Mal-mal di kota Jeddah biasanya hanya terdiri dari 1-3 lantai, tapi areanya sangat luas, dengan lobi yang serba luas dan megah. Harus punya stamina yang cukup kuat untuk menjelajahi seluruh sudut bangunan mal.
Pusat mal mewah yang ada di tengah kota terletak di salah satu sudut Tahlia Street. Di ruas jalan tertentu berjajar mal-mal besar seperti: Le Mall, Nojoud Mall, Jeddah Mall, Al Khayat, dan Tahlia Shopping Center, yang dilengkapi dengan butik-butik dari berbagai brand internasional kenamaan. Sebut saja Prada, Gucci, Louis Vuitton, Ralph Lauren, Dolce & Gabbana, dan masih banyak lagi. Tak ketinggalan sebuah bangunan butik berselaput warna emas bertuliskan “Versace” di atasnya.
Yang membuat para penggila belanja menitikkan air liur, harga barang-barang bermerek level dunia itu di Jeddah jauh lebih murah, khususnya bila dibandingkan dengan membeli di Indonesia. Karena umumnya pemerintah Arab Saudi tidak mengenakan pajak pada hampir semua jenis barang yang diperjualbelikan di sana. Menurut info dari seorang teman, selisihnya bisa mencapai satu juta rupiah. Wow!
Pasar-pasar tradisional atau pasar lokal juga bertebaran di Kota Jeddah. Sebut saja “Pasar Sepeda” yang letaknya dekat dengan monumen “Sepeda Nabi Adam” di Sitten Street. “Pasar Sepeda” adalah julukan khas untuk tempat ini dari para pendatang Indonesia yang pemukim di Jeddah. Pasar ini tempat yang tepat untuk berburu rupa-rupa karpet yang umumnya impor. Harganya juga termasuk murah. Tak heran bila banyak teman saya sesama pemukim di Jeddah memanfaatkan selisih harga ini untuk berdagang karpet di Tanah Air.
Pasar tradisional lain yang tidak kalah menarik adalah Bab Shareef. Lokasinya cukup dekat dari pusat perbelanjaan Balad yang sudah dikenal luas di kalangan jemaah haji asal Indonesia. Hanya saja nama Bab Shareef ini kurang bergaung karena memang jarang diperkenalkan. Bab Shareef lebih fokus menjual hasil-hasil tekstil, seperti pakaian, sajadah, dan pashmina serta kerudung. Harganya cukup menggiurkan jika membeli dalam jumlah besar.
Satu lusin pashmina buatan Syiria dengan kualitas bahan yang baik bisa diperoleh di harga sekitar 100-300 riyal – 1 riyal kira-kira 3 ribu rupiah. Tapi kalau Anda tipe shopper yang justru mendapatkan kebahagiaan kalau bisa menawar, tampaknya Anda harus kecewa. Soalnya, pedagang di pasar-pasar lokal ini lebih suka memberikan harga pas. Perlakuan mereka kepada calon pembeli juga terkesan agak ‘dingin’. Tidak ada percakapan yang heboh dan tarik-ulur yang ceria seperti jika kita berbelanja di pasar-pasar di Indonesia. Tapi jangan sakit hati dulu. Mereka biasanya akan bersikap ramah jika kita memborong barang dagangan mereka! Ha..ha..ha…
Soal bahasa jangan terlalu khawatir. Tidak sedikit dari mereka yang cukup fasih berbahasa Indonesia tingkat dasar. Apalagi kalau cuma untuk kegiatan jual beli saja. Kalau pun ada kendala komunikasi, cukup tuliskan harga yang kita inginkan di selembar kertas atau bisa meminjam kalkutor di toko yang bersangkutan.
Untuk pergi jalan-jalan ke mal atau ke pasar, ternyata saya juga tidak perlu menunggu suami pulang kantor, atau memaksa suami untuk ‘cuti khusus’ alias bolos. Juga tidak harus menanti akhir pekan tiba. Di kota ini perempuan bebas-bebas saja jalan-jalan di luar rumah tanpa suami, asalkan di siang sampai sore hari. Bahkan tidak sedikit teman saya yang berani menggunakan taksi umum seorang diri, walaupun kami umumnya lebih suka naik taksi beramai-ramai. Enaknya lagi, di Jeddah banyak sopir taksi asal Indonesia, jadi kami merasa lebih aman. Kami cukup menelepon sopir taksi langganan untuk berbelanja atau sekadar jalan-jalan. Para sopir taksi itu biasanya juga sudah hafal lokasi apartemen kami, jadi tinggal menjemput dan kemudian mengantar pulang kami kembali. Pokoknya seperti punya sopir pribadi, deh! Tapi tentu saja menggunakan ‘jasa khusus’ ini memerlukan ongkos lebih. Akan jauh lebih hemat jika menyetop taksi umum langsung di pinggir jalan. Apalagi biya taksi di Jeddah termasuk murah, paling banter hanya 10 riyal sekali jalan yang jaraknya lumayan jauh.
Sebenarnya banyak sekali mal besar yang tersebar di berbagai penjuru Jeddah. Sebut saja Red Sea Mall, yang paling luas dan megah, Mal ini letaknya memang bukan di jantung kota, melainkan agak ke pinggir utara, tepatnya di King Abdul Aziz Road. Mal megah ini bahkan punya lebih dari 10 pintu masuk. Mal-mal di kota Jeddah biasanya hanya terdiri dari 1-3 lantai, tapi areanya sangat luas, dengan lobi yang serba luas dan megah. Harus punya stamina yang cukup kuat untuk menjelajahi seluruh sudut bangunan mal.
Pusat mal mewah yang ada di tengah kota terletak di salah satu sudut Tahlia Street. Di ruas jalan tertentu berjajar mal-mal besar seperti: Le Mall, Nojoud Mall, Jeddah Mall, Al Khayat, dan Tahlia Shopping Center, yang dilengkapi dengan butik-butik dari berbagai brand internasional kenamaan. Sebut saja Prada, Gucci, Louis Vuitton, Ralph Lauren, Dolce & Gabbana, dan masih banyak lagi. Tak ketinggalan sebuah bangunan butik berselaput warna emas bertuliskan “Versace” di atasnya.
Yang membuat para penggila belanja menitikkan air liur, harga barang-barang bermerek level dunia itu di Jeddah jauh lebih murah, khususnya bila dibandingkan dengan membeli di Indonesia. Karena umumnya pemerintah Arab Saudi tidak mengenakan pajak pada hampir semua jenis barang yang diperjualbelikan di sana. Menurut info dari seorang teman, selisihnya bisa mencapai satu juta rupiah. Wow!
Pasar-pasar tradisional atau pasar lokal juga bertebaran di Kota Jeddah. Sebut saja “Pasar Sepeda” yang letaknya dekat dengan monumen “Sepeda Nabi Adam” di Sitten Street. “Pasar Sepeda” adalah julukan khas untuk tempat ini dari para pendatang Indonesia yang pemukim di Jeddah. Pasar ini tempat yang tepat untuk berburu rupa-rupa karpet yang umumnya impor. Harganya juga termasuk murah. Tak heran bila banyak teman saya sesama pemukim di Jeddah memanfaatkan selisih harga ini untuk berdagang karpet di Tanah Air.
Pasar tradisional lain yang tidak kalah menarik adalah Bab Shareef. Lokasinya cukup dekat dari pusat perbelanjaan Balad yang sudah dikenal luas di kalangan jemaah haji asal Indonesia. Hanya saja nama Bab Shareef ini kurang bergaung karena memang jarang diperkenalkan. Bab Shareef lebih fokus menjual hasil-hasil tekstil, seperti pakaian, sajadah, dan pashmina serta kerudung. Harganya cukup menggiurkan jika membeli dalam jumlah besar.
Satu lusin pashmina buatan Syiria dengan kualitas bahan yang baik bisa diperoleh di harga sekitar 100-300 riyal – 1 riyal kira-kira 3 ribu rupiah. Tapi kalau Anda tipe shopper yang justru mendapatkan kebahagiaan kalau bisa menawar, tampaknya Anda harus kecewa. Soalnya, pedagang di pasar-pasar lokal ini lebih suka memberikan harga pas. Perlakuan mereka kepada calon pembeli juga terkesan agak ‘dingin’. Tidak ada percakapan yang heboh dan tarik-ulur yang ceria seperti jika kita berbelanja di pasar-pasar di Indonesia. Tapi jangan sakit hati dulu. Mereka biasanya akan bersikap ramah jika kita memborong barang dagangan mereka! Ha..ha..ha…
Soal bahasa jangan terlalu khawatir. Tidak sedikit dari mereka yang cukup fasih berbahasa Indonesia tingkat dasar. Apalagi kalau cuma untuk kegiatan jual beli saja. Kalau pun ada kendala komunikasi, cukup tuliskan harga yang kita inginkan di selembar kertas atau bisa meminjam kalkutor di toko yang bersangkutan.
Untuk pergi jalan-jalan ke mal atau ke pasar, ternyata saya juga tidak perlu menunggu suami pulang kantor, atau memaksa suami untuk ‘cuti khusus’ alias bolos. Juga tidak harus menanti akhir pekan tiba. Di kota ini perempuan bebas-bebas saja jalan-jalan di luar rumah tanpa suami, asalkan di siang sampai sore hari. Bahkan tidak sedikit teman saya yang berani menggunakan taksi umum seorang diri, walaupun kami umumnya lebih suka naik taksi beramai-ramai. Enaknya lagi, di Jeddah banyak sopir taksi asal Indonesia, jadi kami merasa lebih aman. Kami cukup menelepon sopir taksi langganan untuk berbelanja atau sekadar jalan-jalan. Para sopir taksi itu biasanya juga sudah hafal lokasi apartemen kami, jadi tinggal menjemput dan kemudian mengantar pulang kami kembali. Pokoknya seperti punya sopir pribadi, deh! Tapi tentu saja menggunakan ‘jasa khusus’ ini memerlukan ongkos lebih. Akan jauh lebih hemat jika menyetop taksi umum langsung di pinggir jalan. Apalagi biya taksi di Jeddah termasuk murah, paling banter hanya 10 riyal sekali jalan yang jaraknya lumayan jauh.
teks dan foto: Jihan Davincka