Ada banyak gua Jepang serupa di Bukittinggi, tapi hanya gua ini yang dijadikan obyek wisata. Akibatnya, orang Bukittinggi tidak dapat membangun gedung lebih tinggi dari 10 tingkat. Konon, tentara Jepang memang berencana membuat semacam kota bawah tanah dengan menyatukan gua-gua tersebut. Tetapi pemboman Hiroshima dan Nagasaki memupus rencana tersebut (kalau dipikir-pikir, sayang juga, ya…).
Di ujung jalur utama, pengunjung akan bertemu dengan jalur kedua yang posisinya melintang di ujung jalur utama. Sepanjang jalur kedua ini ada 15 lorong yang –lagi-lagi—memiliki bentuk serupa. Lorong terdekat di kanan dan kiri persimpangan tersebut dulunya digunakan sebagai ruang makan para pekerja romusha. Ini diketahui dari banyaknya peralatan makan yang ditemukan di sana, meskipun sudah dalam keadaan rusak karena terbuat dari bambu.
Lorong kedua di sebelah kiri merupakan ruang pertemuan tentara Jepang. Sementara keduabelas lorong lainnya adalah ruang tidur tentara. Di ujung paling kiri terdapat penjara untuk menghukum para pekerja romusha, dan tepat di sebelah kanannya terdapat ruangan penyiksaan.
Konon, di ruangan itulah tentara Jepang menganiaya para pekerja romusha, tak jarang sampai mati, dan jasadnya dibuang ke lubang kecil di sudut bawah dinding. Menurut pemandu, lubang itu berakhir di sungai nun jauh di dasar ngarai, sehingga jasad yang dibuang tidak dapat ditemukan orang.
Di ujung atas ruang penyiksaan terdapat lubang pengintaian lainnya. Kalau berdiri menempel di dinding, pengunjung dapat melihat seberkas cahaya yang masuk dari lubang tersebut. Konon kontur tanah di dasarnya dibuat bertakik-takik seperti anak tangga, meskipun untuk menaikinya harus dalam posisi merayap.
Tak jauh dari situ juga terdapat lubang penyergapan. Kalau ada orang yang tertangkap basah sedang berkeliaran di sekitar gua, ia akan segera disergap dan dibunuh. Apalagi, ratusan pekerja romusha itu tidak ada yang berasal dari daerah sekitar, sehingga penduduk sekitar tidak merasa kehilangan bila ada pekerja yang mati atau hilang. Konon tentara Jepang mendatangkan pekerja romusha dari Jawa dan Kalimantan. Dengan cara itulah keberadaan gua tersebut tetap menjadi misteri bagi penduduk Bukittinggi, setidaknya sampai Jepang menyerah kepada Sekutu.
Selain terhubung dengan jalur-jalur utama, lorong-lorong itu masih terkoneksi dengan jalur-jalur sekunder, sehingga sesungguhnya setiap lorong di gua itu saling berhubungan secara rahasia. Membayangkan gua seluas itu dibangun oleh pekerja romusha, rasanya memilukan. Tentunya mereka saat itu tidak bekerja dengan peralatan memadai, bisa jadi mereka menggali dengan tangan. Makanan yang diberikan pun sangat tidak layak, sehingga banyak pekerja yang mati kelaparan atau mati karena sakit.
Pada tahun 2001, pernah muncul kabar bahwa ada salah seorang pekerja romusha yang selamat dari sekapan gua dan muncul di Bukittinggi. Dia tak keberatan menceritakan tentang seluk-beluk gua tersebut –yang ternyata cocok dengan data yang ada. Namun orang tersebut tidak mau diajak turun lagi ke gua. Bukan karena tubuhnya telah renta dan tidak mampu secara fisik, melainkan karena trauma akibat penyiksaan yang pernah diterimanya di sana.
Amanda Setyorini
Foto: Dok. Pribadi