Menurut Danielle LaPorte, seorang life coach dan penulis buku The Fire Starter Session, sesungguhnya kita bisa membebaskan diri dari belenggu perasaan atau emosi negatif yang menjadikan hidup kita tidak nyaman dan membuat kita kehilangan kesempatan untuk berbahagia dan menikmati hidup. Membebaskan emosi dalam hal ini bukan dengan melampiaskannya secara membabi buta atau asal lepas. Ada cara yang jauh lebih efektif, yaitu dengan cara memetakan, mengenali, 'merasakan', menganalisis, memahami, mengendalikan, dan pada akhirnya mengarahkan ke emosi yang (lebih) positif.
Dalam pelatihan yang diselenggarakannya, LaPorte biasanya akan meminta para peserta untuk membuat daftar emosi-emosi negatif apa saja yang tengah melanda mereka pada saat itu. Dalam hubungan dengan pasangan, taruhlah mereka menuliskan kata 'frustasi' atau 'marah'. Selanjutnya mereka diminta untuk menganalisis perasaan-perasaan itu: seperti apa rasanya secara persis, mengapa bisa sampai timbul perasaan itu (dirunut dari awal), mengapa akhirnya bisa berkembang seperti sekarang. Ini penting, kata LaPorte, karena Kita sering kali susah memisahkan akar satu masalah dari masalah lainnya.
"Misalnya, kita bolak-balik mengatakan 'muak' atau 'bosan' setiap kali bicara soal pekerjaan atau kantor. Tapi pernahkah kita mencoba meluangkan sedikit waktu untuk mengenalisis, mengapa kita merasa muak atau bosan? Apakah karena konflik yang tak terselesaikan dengan atasan atau rekan kerja? Atau karena kita sesungguhnya tidak menyukai jenis pekerjaan yang kita lakukan? Atau, apakah perasaan negatif itu hanya muncul pada saat kita sedang PMS (sindroma prahaid)? Tentu saja ada banyak kemungkinan jawabannya, dan kalau kita mau menganalisisnya lebih jauh, kita akan tahu jawaban sesungguhnya. Dan dari situ kita akan lebih mudah mencari solusi yang terbaik," papar LaPorte.
Tentu saja proses 'membedah' emosi itu tidak bisa dilakukan saat hati kita sedang panas membara atau tersengat rasa sakit. "Kita hanya perlu menenangkan diri sejenak dengan menjauhkan diri dari situasi yang emosional itu (atau dari orang-orang yang membuat kita marah). Ini antara lain supaya kita tidak spontan bereaksi secara agresif -seperti mengeluarkan kata-kata kasar, berteriak, atau memukul seseorang- yang mungkin kita sendiri tidak bermaksud demikian," kata LaPorte lagi.
Berapa lama proses pendinginan ini berlangsung, memang relatif. Tergantung pada kepribadian dan kemampuan masing-masing orang untuk menanggung beban emosi hingga berat-ringannya masalah itu sendiri. Ada yang cukup dengan menarik dan melepas napas panjang beberapa kali, ada pula yang membutuhkan waktu lebih lama. Tapi yang pasti dibutuhkan kesadaran diri, latihan panjang, dan kemauan untuk belajar menumbuhkan pikiran-pikiran positif pada diri kita. Karena itu, kata LaPorte, proses ini lebih efektif bila dijalani lewat sesi pelatihan di bawah bimbingan tenaga ahli.
Dan bila kita berhasil membedah dan menganalisis emosi-emosi negatif kita dengan kepala dingin, tak jarang kita menemukan bahwa kemarahan atau kesedihan kita yang sebelumnya terasa bagai dunia runtuh ternyata tidaklah 'separah' itu. Bahwa selama ini kita sendirilah yang lebih sering melebih-lebihkan dan mendramatisasi. Dan ketika pada akhirnya kita berhasil memahami emosi kita yang sebenarnya, kita pun akan menghela napas lega, bahkan mungkin tertawa, mentertawakan diri sendiri,"Uh, begitu saja, kok, rungsing!"
Dalam pelatihan yang diselenggarakannya, LaPorte biasanya akan meminta para peserta untuk membuat daftar emosi-emosi negatif apa saja yang tengah melanda mereka pada saat itu. Dalam hubungan dengan pasangan, taruhlah mereka menuliskan kata 'frustasi' atau 'marah'. Selanjutnya mereka diminta untuk menganalisis perasaan-perasaan itu: seperti apa rasanya secara persis, mengapa bisa sampai timbul perasaan itu (dirunut dari awal), mengapa akhirnya bisa berkembang seperti sekarang. Ini penting, kata LaPorte, karena Kita sering kali susah memisahkan akar satu masalah dari masalah lainnya.
"Misalnya, kita bolak-balik mengatakan 'muak' atau 'bosan' setiap kali bicara soal pekerjaan atau kantor. Tapi pernahkah kita mencoba meluangkan sedikit waktu untuk mengenalisis, mengapa kita merasa muak atau bosan? Apakah karena konflik yang tak terselesaikan dengan atasan atau rekan kerja? Atau karena kita sesungguhnya tidak menyukai jenis pekerjaan yang kita lakukan? Atau, apakah perasaan negatif itu hanya muncul pada saat kita sedang PMS (sindroma prahaid)? Tentu saja ada banyak kemungkinan jawabannya, dan kalau kita mau menganalisisnya lebih jauh, kita akan tahu jawaban sesungguhnya. Dan dari situ kita akan lebih mudah mencari solusi yang terbaik," papar LaPorte.
Tentu saja proses 'membedah' emosi itu tidak bisa dilakukan saat hati kita sedang panas membara atau tersengat rasa sakit. "Kita hanya perlu menenangkan diri sejenak dengan menjauhkan diri dari situasi yang emosional itu (atau dari orang-orang yang membuat kita marah). Ini antara lain supaya kita tidak spontan bereaksi secara agresif -seperti mengeluarkan kata-kata kasar, berteriak, atau memukul seseorang- yang mungkin kita sendiri tidak bermaksud demikian," kata LaPorte lagi.
Berapa lama proses pendinginan ini berlangsung, memang relatif. Tergantung pada kepribadian dan kemampuan masing-masing orang untuk menanggung beban emosi hingga berat-ringannya masalah itu sendiri. Ada yang cukup dengan menarik dan melepas napas panjang beberapa kali, ada pula yang membutuhkan waktu lebih lama. Tapi yang pasti dibutuhkan kesadaran diri, latihan panjang, dan kemauan untuk belajar menumbuhkan pikiran-pikiran positif pada diri kita. Karena itu, kata LaPorte, proses ini lebih efektif bila dijalani lewat sesi pelatihan di bawah bimbingan tenaga ahli.
Dan bila kita berhasil membedah dan menganalisis emosi-emosi negatif kita dengan kepala dingin, tak jarang kita menemukan bahwa kemarahan atau kesedihan kita yang sebelumnya terasa bagai dunia runtuh ternyata tidaklah 'separah' itu. Bahwa selama ini kita sendirilah yang lebih sering melebih-lebihkan dan mendramatisasi. Dan ketika pada akhirnya kita berhasil memahami emosi kita yang sebenarnya, kita pun akan menghela napas lega, bahkan mungkin tertawa, mentertawakan diri sendiri,"Uh, begitu saja, kok, rungsing!"
Tina Savitri