Berbagai penelitian membuktikan bahwa mengerjakan lebih dari satu tugas secara bersamaan justru lebih tidak efisien. Dr. David Mayer, profesor psikologi dari University of Michigan, mengatakan bahwa semakin kompleks kegiatan seseorang, semakin banyak pula waktu yang ia butuhkan. Sehingga ketika mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus, seseorang tidak dapat menyelesaikannya dengan optimal.
Hal yang sama diakui Morgenstern, pakar produktivitas dan penulis bestseller Time Management from The Inside Out. Seperti dilansir forbes.com, Morgenstern mengatakan, multitasking sebenarnya justru menambah waktu kerja dan membuat seseorang cenderung melakukan kesalahan akibat terlalu lelah atau stres.
Salah satu efek negatif multitasking adalah penurunan kemampuan memori -khususnya short term memory atau disebut 'working memory'. Bagian otak inilah yang pertama kali mengolah informasi yang masuk untuk disimpan dalam ingatan. Bila kita sedang mengerjakan atau berpikir tentang beberapa hal dalam waktu bersamaan, maka bisa terjadi stimulasi berlebihan pada otak. Proses atensi pun akan berpindah-pindah. Akibatnya, otak tidak dapat memilah mana informasi penting dan tidak penting, sehingga Anda menjadi mudah lupa. Demikian hasil studi Clifford Nass, Ph.D dari Stanford University (2009).
Karena penurunan fungsi otak tersebut, kita pun menjadi stres dan mudah tersulut emosi marah. Emosi negatif ini daoat mengganggu fungsi pre-frontal korteks dan kemampuan kita untuk berkonsentrasi, yang kemudian mencetuskan stres fisiologis yang ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, denyut jantung, serta produksi hormon kortisol. Bahayanya, dalam kondisi ini kita pun gampang bertindak agresif.
Hal ini diamini oleh Amir Zuhdi, ahli neuroscience yang juga pendiri Indonesian Neuroscience Society. Ketika seseorang mengalami stres, akan terjadi perubahan kimiawi pada otak, salah satunya adalah rendahnya kadar neurokimia (neurotranmitter) neropinefrin, dan serotonin. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan metabolisme pada sistem limbik. Bila peningkatan metabolisme di sistem limbik ini terus terjadi, maka dia akan merasa sangat lelah, sulit tidur, motivasi kerjanya menurun, bahkan bsia sampai berniat bunuh diri.
Dr. Martina W. Nasrun, Sp. KJ (K) menambahkan, jika multitasking ini terus dilakukan dalam kondisi stres, maka lama kelamaan otak pun menjadi rusak. Dalm hal ini dapat mempercepat munculnya gejala Alzheimer (kesulitan mencerna dan mengingat informasi baru). "Sebenarnya kita boleh-boleh saja multitasking, asalkan dilakukan dengan benar dan senang hati," ujar Martina.
Kalaupun Anda diminta untuk melakukan beberapa tugas, kelola tugas-tugas tersebut dan tuntaskan satu per satu, bukannya menggabungkan pikiran atau pengerjaan tugas yang satu dengan yang lain. Dan sekiranya sudah merasa tidak lagi happy apalagi stres, itu tandanya kita harus berani bilang "Stop!" atau "Time Out!"
Hal yang sama diakui Morgenstern, pakar produktivitas dan penulis bestseller Time Management from The Inside Out. Seperti dilansir forbes.com, Morgenstern mengatakan, multitasking sebenarnya justru menambah waktu kerja dan membuat seseorang cenderung melakukan kesalahan akibat terlalu lelah atau stres.
Salah satu efek negatif multitasking adalah penurunan kemampuan memori -khususnya short term memory atau disebut 'working memory'. Bagian otak inilah yang pertama kali mengolah informasi yang masuk untuk disimpan dalam ingatan. Bila kita sedang mengerjakan atau berpikir tentang beberapa hal dalam waktu bersamaan, maka bisa terjadi stimulasi berlebihan pada otak. Proses atensi pun akan berpindah-pindah. Akibatnya, otak tidak dapat memilah mana informasi penting dan tidak penting, sehingga Anda menjadi mudah lupa. Demikian hasil studi Clifford Nass, Ph.D dari Stanford University (2009).
Karena penurunan fungsi otak tersebut, kita pun menjadi stres dan mudah tersulut emosi marah. Emosi negatif ini daoat mengganggu fungsi pre-frontal korteks dan kemampuan kita untuk berkonsentrasi, yang kemudian mencetuskan stres fisiologis yang ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, denyut jantung, serta produksi hormon kortisol. Bahayanya, dalam kondisi ini kita pun gampang bertindak agresif.
Hal ini diamini oleh Amir Zuhdi, ahli neuroscience yang juga pendiri Indonesian Neuroscience Society. Ketika seseorang mengalami stres, akan terjadi perubahan kimiawi pada otak, salah satunya adalah rendahnya kadar neurokimia (neurotranmitter) neropinefrin, dan serotonin. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan metabolisme pada sistem limbik. Bila peningkatan metabolisme di sistem limbik ini terus terjadi, maka dia akan merasa sangat lelah, sulit tidur, motivasi kerjanya menurun, bahkan bsia sampai berniat bunuh diri.
Dr. Martina W. Nasrun, Sp. KJ (K) menambahkan, jika multitasking ini terus dilakukan dalam kondisi stres, maka lama kelamaan otak pun menjadi rusak. Dalm hal ini dapat mempercepat munculnya gejala Alzheimer (kesulitan mencerna dan mengingat informasi baru). "Sebenarnya kita boleh-boleh saja multitasking, asalkan dilakukan dengan benar dan senang hati," ujar Martina.
Kalaupun Anda diminta untuk melakukan beberapa tugas, kelola tugas-tugas tersebut dan tuntaskan satu per satu, bukannya menggabungkan pikiran atau pengerjaan tugas yang satu dengan yang lain. Dan sekiranya sudah merasa tidak lagi happy apalagi stres, itu tandanya kita harus berani bilang "Stop!" atau "Time Out!"
Shinta Kusuma