Gereja yang terletak di jalur sibuk selatan Jakarta ini sekilas terlihat seperti gedung pertemuan. Tak ada salib di bagian atas gereja, salib justru berada di samping bangunan gereja yang terletak di atas bangunan beton lonceng gereja. Bangunan gereja Katolik yang berdiri sejak tahun 1981 ini mengadaptasi arsitektur Jawa yaitu rumah Joglo. Gereja yang diresmikan dan diberkati oleh alm. Uskup Mgr. Leo Soekoto di dalamnya berkonsep pendopo Jawa. Pola dasar gereja ini adalah bentuk salib yang distimulasi.
Tak seperti gereja Katolik pada umumnya yang altarnya berada di bagian paling depan gereja. Altar gereja ini berada di bagian tengah sebagai poros dengan dikelilingi empat sisi tempat duduk umat yang berada di bagian utara, selatan, barat, dan timur altar. Hal ini bertujuan untuk mencapai kesan monumentalitas yang mengarahkan flow umat ke bagian poros yaitu daerah sakral. Altar dengan tabernakel, mimbar imam, dan meja altar ini berbentuk segi empat. Empat pilar kokoh mengelilingi sudut altar dengan ukiran kayu tradisional di atas langit-langit altar. Lampu penanda kehadiran Tuhan di atas tabernakel keemasan yang berada di salah satu sudut altar terbuat dari lampu klasik Jawa yang digantung di salah satu pilar altar. Hal ini semakin menambahkan kesan tradisional.
Daerah altar ini juga dinaungi atap joglo sebagai perwujudan arsitek Jawa. Sekilas terlihat seperti keraton Jawa. Sedangkan empat sisi umat dinaungi oleh atap limasan. Pada bagian bumbungan dari atap joglo dan limasan dilengkapi dengan papan nok yang berhias ukiran motif salib sebagai lambang kehadiran Tuhan dan burung merpati sebagai lambang roh kudus.
Beribadah di gereja ini seolah sedang berkumpul di dalam pendopo Jawa. Apalagi setiap pintu yang mengilingi gereja terbuat dari kayu. Untuk menambah kesan tradisional gambar-gambar jalan salib yang terdiri dari empat belas stasi terbuat dari kayu yang diukir dan terletak mengelilingi bagian atas dinding gereja. Efek dramatis yang indah, saat seluruh lampu a la kolonial berpendar kuning dinyalakan. Kuningnya cahaya berpadu dengan elemen kayu menjadikan gereja ini terkesan mewah di bagian dalam, namun sederhana dari luar sehingga terkesan terbuka untuk siapa saja.
Gereja Katolik Santo Stefanus
Jl. KH Muhasyim IV No. 2, Cilandak, Jakarta Selatan
Monika Erika
Tak seperti gereja Katolik pada umumnya yang altarnya berada di bagian paling depan gereja. Altar gereja ini berada di bagian tengah sebagai poros dengan dikelilingi empat sisi tempat duduk umat yang berada di bagian utara, selatan, barat, dan timur altar. Hal ini bertujuan untuk mencapai kesan monumentalitas yang mengarahkan flow umat ke bagian poros yaitu daerah sakral. Altar dengan tabernakel, mimbar imam, dan meja altar ini berbentuk segi empat. Empat pilar kokoh mengelilingi sudut altar dengan ukiran kayu tradisional di atas langit-langit altar. Lampu penanda kehadiran Tuhan di atas tabernakel keemasan yang berada di salah satu sudut altar terbuat dari lampu klasik Jawa yang digantung di salah satu pilar altar. Hal ini semakin menambahkan kesan tradisional.
Daerah altar ini juga dinaungi atap joglo sebagai perwujudan arsitek Jawa. Sekilas terlihat seperti keraton Jawa. Sedangkan empat sisi umat dinaungi oleh atap limasan. Pada bagian bumbungan dari atap joglo dan limasan dilengkapi dengan papan nok yang berhias ukiran motif salib sebagai lambang kehadiran Tuhan dan burung merpati sebagai lambang roh kudus.
Beribadah di gereja ini seolah sedang berkumpul di dalam pendopo Jawa. Apalagi setiap pintu yang mengilingi gereja terbuat dari kayu. Untuk menambah kesan tradisional gambar-gambar jalan salib yang terdiri dari empat belas stasi terbuat dari kayu yang diukir dan terletak mengelilingi bagian atas dinding gereja. Efek dramatis yang indah, saat seluruh lampu a la kolonial berpendar kuning dinyalakan. Kuningnya cahaya berpadu dengan elemen kayu menjadikan gereja ini terkesan mewah di bagian dalam, namun sederhana dari luar sehingga terkesan terbuka untuk siapa saja.
Gereja Katolik Santo Stefanus
Jl. KH Muhasyim IV No. 2, Cilandak, Jakarta Selatan
Monika Erika