Dari kamar pingitan Kartini, perjalanan kemudian kami lanjutkan ke sebuah komunitas anak muda yang menamakan diri komunitas Rumah Kartini. Uniknya, kebanyakan anggotanya adalah laki-laki! Di sana kami bertemu dengan pentolan Rumah Kartini yang akrab dipanggil Apep. Awalnya Rumah Kartini terdiri dari sekumpulan pemuda Jepara yang peduli pada sejarah dan kebudayaan kampung halaman sendiri, baik yang masih kuliah di luar kota maupun yang tetap berdomisili di Jepara sendiri.
Para pemuda ini memiliki tujuan mulia, yaitu ingin memajukan kembali seni dan budaya Jepara. Apalagi juga mereka merasa pemerintah daerah kurang merespons kegiatan tersebut secara maksimal. Maka berdirilah komunitas Rumah Kartini yang bertujuan mempelajari dan merawat seni dan kebudayaan Jepara dalam konsep yang dikemas dengan baik, agar masyarakat Jepara bisa berbangga pada budaya mereka sendiri.
Sepintas tujuannya memang terkesan muluk, namun komunitas ini menjalankannya dengan cara yang paling mereka mengerti. Salah satunya dengan membuat desain T-shirt serba Kartini. Ini cara yang jitu, menurut saya, jika ingin mengajak anak muda agar lebih terlibat dan peduli pada akar sejarah. Melalui ragam kesenian kontemporer populer ini tentu generasi muda akan lebih mudah menerimanya. Anda juga bisa mendatangi Rumah Kartini untuk sekedar mengobrol, mencari tahu tentang Kartini dan Jepara, atau melihat-lihat foto dokumentasi. Pintu mereka selalu terbuka lebar bagi para pecinta sejarah.
Tempat menutup mata
Di usia 24, Kartini menikah dengan Bupati Rembang Adipati Djojo Adiningrat. Kendati dianggap sebagai bupati yang berpandangan maju dan modern, ia telah memiliki tiga istri sebelumnya. Meski sebelumnya berontak sedemikian rupa, namun menjelang pernikahannya penilaian Kartini terhadap adat Jawa sedikit berubah, menjadi lebih toleran.
Ia menganggap pernikahannya dengan sang adipati toh, bisa memberi keuntungan tersendiri dalam mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan sekolah bagi para wanita bumiputera. Suaminya memang telah berjanji akan memberi kebebasan kepada Kartini untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Sebagai seorang garwo padmi (istri utama karena berstatus bangsawan), Kartini menempati kamar di bagian depan rumah, sementara istri-istri lain ada di bagian belakang. Kartini menempati kamar ini hingga ia tutup usia di usia yang masih sangat muda, 25 tahun, setelah melahirkan anak laki-lakinya, RM Soesalit. Pada 1967, saat bangunan ini masih digunakan sebagai kantor kabupaten, kamar tersebut dibuka untuk umum dan dijadikan Museum Kamar Pengabdian Kartini. Namun saat ini, seluruh bangunan telah dijadikan museum.
Kamar itu tergolong kecil untuk bangunan sebesar ini, tidak lebih besar daripada kamar pingitan di Jepara. Di kamar itu terdapat satu tempat tidur, satu meja untuk merawat bayi, foto-foto, dan baju kebaya beludru Kartini yang tersohor itu. Museum ini tergolong kosong, hanya memerlukan sekitar 15 menit untuk melihat seluruh isinya.
Selain foto-foto reproduksi, museum ini juga menyimpan buku Door Duisternis tot Lich cetakan pertama. Ada juga potongan-potongan surat Kartini yang mengeluarkan cahaya di ruang yang gelap, mungkin agar beriringan dengan judul bukunya, ‘habis gelap terbitlah terang’.
Di bangunan yang masih asli ini, pengunjung dapat mengira-ngira bagaimana situasi dan kondisi di masa itu dengan melihat tata letak bangunan tersebut. Misalnya, kamar-kamar selir yang ada di bagian belakang terpisah dari bangunan utama. Karena sebelumnya pernah digunakan sebagai kantor dan kediaman bupati, ada bagian-bagian bangunan yang sudah dipugar mengikuti perkembangan zaman. Namun pihak museum sedang mengupayakan untuk mengembalikan bangunan ini seperti sedia kala.
Pada akhirnya, saya dengan sungguh-sungguh menyadari bahwa Kartini memang bukan Laksamana Malahayati yang memimpin dua ribu pasukan berperang melawan pasukan, kapal-kapal, dan benteng-benteng Belanda diperairan Aceh. Ia juga bukan Martha Christina Tiahahu yang ikut mengangkat senjata bersama para pria, bertempur melawan penjajah di Laut Banda, Maluku. Tapi saya harus mengakui bahwa perjuangan Kartini lebih bersifat intelektual. Ia berjuang dengan menyuarakan, bahkan ‘meneriakkan’ buah pikirannya lewat torehan pena dan berharap dapat mengubah kondisi perempuan Jawa di masanya menjadi lebih baik.
Para pemuda ini memiliki tujuan mulia, yaitu ingin memajukan kembali seni dan budaya Jepara. Apalagi juga mereka merasa pemerintah daerah kurang merespons kegiatan tersebut secara maksimal. Maka berdirilah komunitas Rumah Kartini yang bertujuan mempelajari dan merawat seni dan kebudayaan Jepara dalam konsep yang dikemas dengan baik, agar masyarakat Jepara bisa berbangga pada budaya mereka sendiri.
Sepintas tujuannya memang terkesan muluk, namun komunitas ini menjalankannya dengan cara yang paling mereka mengerti. Salah satunya dengan membuat desain T-shirt serba Kartini. Ini cara yang jitu, menurut saya, jika ingin mengajak anak muda agar lebih terlibat dan peduli pada akar sejarah. Melalui ragam kesenian kontemporer populer ini tentu generasi muda akan lebih mudah menerimanya. Anda juga bisa mendatangi Rumah Kartini untuk sekedar mengobrol, mencari tahu tentang Kartini dan Jepara, atau melihat-lihat foto dokumentasi. Pintu mereka selalu terbuka lebar bagi para pecinta sejarah.
Tempat menutup mata
Di usia 24, Kartini menikah dengan Bupati Rembang Adipati Djojo Adiningrat. Kendati dianggap sebagai bupati yang berpandangan maju dan modern, ia telah memiliki tiga istri sebelumnya. Meski sebelumnya berontak sedemikian rupa, namun menjelang pernikahannya penilaian Kartini terhadap adat Jawa sedikit berubah, menjadi lebih toleran.
Ia menganggap pernikahannya dengan sang adipati toh, bisa memberi keuntungan tersendiri dalam mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan sekolah bagi para wanita bumiputera. Suaminya memang telah berjanji akan memberi kebebasan kepada Kartini untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Sebagai seorang garwo padmi (istri utama karena berstatus bangsawan), Kartini menempati kamar di bagian depan rumah, sementara istri-istri lain ada di bagian belakang. Kartini menempati kamar ini hingga ia tutup usia di usia yang masih sangat muda, 25 tahun, setelah melahirkan anak laki-lakinya, RM Soesalit. Pada 1967, saat bangunan ini masih digunakan sebagai kantor kabupaten, kamar tersebut dibuka untuk umum dan dijadikan Museum Kamar Pengabdian Kartini. Namun saat ini, seluruh bangunan telah dijadikan museum.
Kamar itu tergolong kecil untuk bangunan sebesar ini, tidak lebih besar daripada kamar pingitan di Jepara. Di kamar itu terdapat satu tempat tidur, satu meja untuk merawat bayi, foto-foto, dan baju kebaya beludru Kartini yang tersohor itu. Museum ini tergolong kosong, hanya memerlukan sekitar 15 menit untuk melihat seluruh isinya.
Selain foto-foto reproduksi, museum ini juga menyimpan buku Door Duisternis tot Lich cetakan pertama. Ada juga potongan-potongan surat Kartini yang mengeluarkan cahaya di ruang yang gelap, mungkin agar beriringan dengan judul bukunya, ‘habis gelap terbitlah terang’.
Di bangunan yang masih asli ini, pengunjung dapat mengira-ngira bagaimana situasi dan kondisi di masa itu dengan melihat tata letak bangunan tersebut. Misalnya, kamar-kamar selir yang ada di bagian belakang terpisah dari bangunan utama. Karena sebelumnya pernah digunakan sebagai kantor dan kediaman bupati, ada bagian-bagian bangunan yang sudah dipugar mengikuti perkembangan zaman. Namun pihak museum sedang mengupayakan untuk mengembalikan bangunan ini seperti sedia kala.
Pada akhirnya, saya dengan sungguh-sungguh menyadari bahwa Kartini memang bukan Laksamana Malahayati yang memimpin dua ribu pasukan berperang melawan pasukan, kapal-kapal, dan benteng-benteng Belanda diperairan Aceh. Ia juga bukan Martha Christina Tiahahu yang ikut mengangkat senjata bersama para pria, bertempur melawan penjajah di Laut Banda, Maluku. Tapi saya harus mengakui bahwa perjuangan Kartini lebih bersifat intelektual. Ia berjuang dengan menyuarakan, bahkan ‘meneriakkan’ buah pikirannya lewat torehan pena dan berharap dapat mengubah kondisi perempuan Jawa di masanya menjadi lebih baik.
Nofi Firman