
Anak anjing memang memiliki ‘appeal’ istimewa bagi saya – dan saya yakin, juga bagi semua pencinta anjing di seluruh dunia. Sorot mata mereka yang polos (dan indah!) sungguh irresistible. Dan mungkin karena baru tumbuh gigi, jangan harap sandal, sepatu, keset, atau apa pun yang tergeletak di lantai tanpa pengawasan, bisa selamat dari sambaran dan kunyahan mereka. Dan karena baru belajar menggonggong, suara gonggongan bocah mereka terdengar begitu merdu di telinga saya.
Sejak menikah dan sempat tinggal di Yogya selama 4 tahun, saya benar-benar putus hubungan dengan anjing. Meski suami saya juga pencinta hewan, daerah tempat tinggal kami tidak memungkinkan untuk memelihara anjing. Makanya kami lalu memelihara beberapa ekor kucing. Namun, kendati saya juga sangat menyayangi kucing-kucing saya, jauh di dalam hati saya tetap ingin memelihara anak anjing. Ketika akhirnya kami pindah ke Jakarta dan mengontrak sebuah paviliun, akhirnya saya bisa merasakan punya anjing lagi.
Sebetulnya Boogie, nama anjing itu — aneh juga, anjing betina kok, dikasih nama Boogie — bukan milik saya, melainkan milik keluarga pemilik rumah. Sepintas lalu mirip trah german shepherd alias herder, mungkin memang ada turunan herder meskipun KW3 atau malah KW4. Namun tampaknya keluarga induk semang saya hanya memberi makan dan tempat tinggal, tapi tak pernah mengajak dia bercengkerama. Alhasil, anjing itu jadi sangat ‘jablai’ terhadap saya, dan hanya selang seminggu kemudian dia telah menjadi penghuni tetap kamar kami setiap malam. Namun, Boogie bukan anak anjing, malah dia sudah termasuk tua, umurnya 7 tahunan. Dia juga termasuk kalem, sopan, penurut, rada ja’im, dan gampang diajak mandi. Pokoknya, the best dog man deserves, deh.
Baru sekitar 5 bulan yang lalu saya benar-benar mengasuh anak anjing lagi. Saya bilang mengasuh, karena pemilik sebenarnya (lagi-lagi) adalah induk semang saya, karena sang cucu rupanya ingin punya anak anjing. Maka pada suatu hari, datanglah ke rumah kami seekor makhluk mungil mirip bundelan bulu berwarna cokelat muda kekuningan. Umurnya baru dua bulan, baru saja disapih (paksa) dari induknya. Tidak heran bila dia lebih banyak menyelempitkan ekornya di antara kedua kaki belakangnya, ketakutan.
“Ini keturunan husky, Tante,” kata Theo, cucu induk semang saya, sambil mengangkat anak anjing itu dengan takut-takut dan memamerkannya kepada saya. What? Husky? Oke, deh, melirik sepintas saja saya langsung yakin 100 persen tidak ada setetes pun darah husky mengalir di tubuh anak anjing gemuk ini. Jelas-jelas anjing kampung gitu, kok. Entah siapa yang tega membohongi Theo, tapi saya biarkan saja. Namun ada yang istimewa dari anak anjing ini: telinganya satu berdiri tegak dan satunya lagi keplek – rupanya bawaan lahir, karena sampai sekarang tetap begitu — sehingga wajahnya makin lucu dan menggemaskan. Dan seperti layaknya mainan baru, anak anjing yang lalu diberi nama Snowy itu – ini lebih ngawur lagi, karena jelas-jelas warna bulunya cokelat muda —lebih banyak dipelihara di dalam rumah dan tak boleh main di halaman rumah yang sebenarnya cukup luas, aman, dan nyaman untuk dijadikan tempat bermain.
Tapi rupanya kondisi itu cuma bertahan satu minggu saja. Minggu berikutnya, si Theo mendatangi saya lagi. “Tante, mau nggak piara Snowy? Soalnya tiap malam dia kaing-kaing terus, kita nggak bisa tidur,” katanya. Hmm…, sudah saya duga sejak awal. Bagaimana tidak kaing-kaing. Anak anjing umur 2 bulan, yang baru saja dipisahkan dari induknya, dibiarkan sendirian di dalam garasi sejak lepas magrib sampai pagi!
Tapi tentu saja di dalam hati saya bersorak, meskipun di luar tampak cool, antara lain dengan mengajukan syarat: pada siang hari, saat saya dan suami ke kantor, mereka harus memberi dia makan siang, dan kalau saya harus ke luar kota selama beberapa hari, mereka harus mengurus Snowy dengan baik. Deal.
Yes, akhirnya saya benar-benar punya anak anjing lagi! Dan seolah mengerti perasaaan saya, anak anjing itu langsung menubruk kaki saya dengan girang, ekornya mengibas-ngibas dengan heboh, dan tak sampai 10 menit kemudian, satu sandal saya lenyap! Dan tak sampai 24 jam kemudian, namanya berubah dari Snowy menjadi… Ndul! Dan selanjutnya, dunia saya pun berubah total!
Pukul 4.30 pagi, saya sudah ‘digabruk’ si Ndul, yang minta keluar kamar untuk pipis – dia hanya perlu diajari 1-2 hari untuk bisa pipis di halaman. Saya yang biasanya susah bangun pagi, mau tak mau harus bangkit untuk membukakan pintu, karena tak mau kamar saya dipipisin si Ndul. Adegan selanjutnya adalah minum susu satu mangkuk penuh, lalu dia tidur lagi. Sekitar pukul 7 bangun lagi, disusul dengan sarapan (kedua) berupa makanan kering untuk anak anjing.
Setelah itu, ia hilir mudik mengikuti ke mana saja kaki saya melangkah, sembari mencoba menarik apa saja yang sejangkauan mulutnya. Sandal, charger ponsel, buku, selimut, pensil alis, batu, dan entah apa lagi, adalah sebagian daftar barang-barang saya yang pernah dia ‘copet’ dan dia kunyah dengan nikmat. Rasanya saya sudah menerapkan semua teori pengasuhan anjing dari Cesar Milan – mulai dari ‘YOU are the leader, not the DOG!’ sampai ‘no talk, no touch, no eye contact’, tapi sepertinya semua itu tidak mempan untuk si Ndul.
Namun bukan hanya dunia saya yang berubah. Dunia si Boogie juga berubah total. Dari seekor anjing yang menjalani hari tuanya dengan tenang dan nyaman – makan, berjemur, bermanja-manja sebentar, tidur — tiba-tiba ia harus berhadapan dengan ‘petasan banting’ yang berusaha sekuat tenaga untuk merusak semua tatanan kehidupan mapannya. Apalagi dari segi usia, Ndul lebih cocok jadi cucunya. Tapi rupanya si Ndul tidak mau tahu bahwa sang nenek pasti tidak mampu mengimbangi energinya yang seperti buldoser. Jadi, meskipun Boogie berusaha dengan berbagai cara untuk menjauhinya, termasuk dengan menggeram, menggertak, dan bersembunyi di bawah tempat tidur, si Ndul merangsek terus dengan wajah tanpa dosa, mengajak bermain.
Tapi lama-lama barangkali si nenek tak tahan juga melihat kelakuan Ndul yang menggemaskan. Pelan-pelan ia mulai mau melayani ajakan main dari si Ndul. Awalnya, setelah main guling-gulingan sebentar, Boogie sudah ngos-ngosan kecapekan dan kembali ngumpet di bawah tempat tidur. Namun, setelah sekian lama rupanya ia mulai ketularan energi sang cucu yang seperti baterai enegizer. Alhasil, kini Boogie bukan saja jauh lebih sehat – karena rajin berolahraga — tapi juga lebih gembira dan ‘hidup’. Bahkan, kadang-kadang ia ikut mengunyah sandal yang dicolong oleh si Ndul entah dari mana.
Yang hidupnya juga ikut berubah adalah Si Mbak, yang setiap pagi bertugas mencuci baju di halaman belakang – tempat main favorit si Ndul di pagi hari. Kalau biasanya dia dengan tenang meletakkan tumpukan baju di ember besar sebelum dicemplungkan ke dalam mesin cuci, kini tidak begitu lagi.
“Copeeeet…!” suatu pagi saya mendengar si Mbak berteriak. Saya yang sedang di kamar buru-buru lari ke halaman belakang, sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa sih, yang berani-beraninya mencopet pagi-pagi begini? Pemandangan yang saya temukan membuat saya geli setengah mati. Si Mbak sedang berlari berkeliling halaman mengejar si Ndul yang menggondol sepotong bra merah dengan tali yang menjuntai-juntai. Matanya berbinar-binar memancarkan kilat jahil, dan garis mulutnya seperti sedang tertawa. Untunglah si Mbak termasuk penyayang binatang, sehingga ia mengejarnya juga sambil tertawa-tawa gembira. Ah, ternyata anjing kecil itu berhasil membawa kegembiraan bagi banyak pihak.
Sayangnya, masa kanak-anak seekor anjing sungguh pendek. Tak sampai usia 4 bulan, Ndul sudah menjelma jadi anjing ABG. Sekarang, di usia 8 bulan, badannya sudah lebih tinggi daripada neneknya — si Boogie, maksud saya. Tapi, badan boleh bongsor, kelakuannya sih, tetap bocah. Tapi saya yakin, hal itu tidak bakal berlangsung lama. Mungkin sekitar 2-3 bulan lagi, ketika dia mulai kenal birahi dan memasuki dunia anjing dewasa, dia tidak lagi lucu dan pecicilan. Tapi saya juga yakin 100%, dia tetap akan menjadi anjing yang manis dan penuh kasih – termasuk pada kucing-kucing peliharaan saya — karena selama ini saya mengasuh dia dengan penuh kasih sayang. Meskipun kata Cesar Milan percuma saja, diam-diam saya sering ‘berbisik’ ke telinga Ndul bahwa saya lebih suka dia menjadi anjing yang ramah, baik hati, dan disayangi semua orang, ketimbang jadi anjing galak yang dianggap lebih berguna sebagai penjaga rumah.
Dogs are the man’s best friends. Rasanya ungkapan itu tidak berlebihan. Betapa hangat dan menyenangkan rasanya melihat Ndul selalu menyambut kedatangan saya di teras rumah dengan penuh kerinduan setiap kali saya pulang kantor, seolah habis ditinggal setahun penuh. Lagu Led Zeppelin berjudul ‘Bron-Yr-Aur Stomp’ – Bron-Yr-Aur adalah nama sebuah cottage di perbatasan England dan Wales — berikut ini mungkin bisa menggambarkan betapa menyenangkannya punya anjing. Robert Plant, vokalis Zep, menciptakan lirik ini khusus untuk anjingnya yang bernama
Ah, all the good times we had,
I sang love songs so glad,
Always smiling never sad, so fine
Well, if the sun shines so bright,
Or on our way it’s darkest night,
The road we choose is always right, so fine
Ah, how can your love be so strong,
When so many loves go wrong,
Will our love go on and on and on…
Tina Savitri