Menambahkan iodium pada garam sudah dilakukan di dunia Barat sejak tahun 1920an. Secara ilmiah sudah dibuktikan bahwa cara ini efektif bisa menanggulangi penyakit gondok dan kerdil (kretin) yang melanda sejumlah besar penduduk, terutama anak-anak, di negara-negara dengan status ekonomi lemah.
Penelitian lanjutan yang dilakukan tahun 1980 menunjukkan bahwa kekurangan iodium pada anak-anak akan mempengaruhi perkembangan mental mereka, berupa penurunan intelegensia dan peningkatan risiko kematian pada wanita hamil dan melahirkan. Penemuan ini mengakibatkan WHO (World Health Organization) menggelar kampanye di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengenai standar mutu garam beriodium dengan alasan kesehatan pada awal tahun 1990.
Mengapa garam yang dipilih? Karena garam dibutuhkan oleh setiap orang, setiap hari, serta harganya pun relatif murah. Dengan demikian penambahan iodium pada garam diharapkan bisa cepat berhasil tidak hanya di negara maju tapi juga di negara berkembang. Lagi pula penambahan iodium pada garam tidak memengaruhi warna, rasa, dan bau, serta tidak menimbulkan reaksi kimia yang berlawanan sehingga garam aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan fisik yang kentara antara garam yang beriodium dan yang tidak beriodium.
Namun Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 dalam salah satu brosurnya mensinyalir, di negeri kita cakupan penggunaan garam beriodium masih kurang dari 90%. Padahal pada kongres "The 1990 World Summit for Children" telah ditetapkan bahwa pada tahun 2000 dunia sudah harus terbebas dari defisit iodium. Kendala apa saja yang kita hadapi?
Sebagian besar garam yang kita konsumsi masih diolah secara tradisional, baik oleh para petani maupun pengusaha swasta. Untuk melangkah ke tingkat iodisasi dibutuhkan sosialisasi, dukungan, dan bantuan pemerintah. Masalah terbesar ternyata pada pengemasan, mengingat jangkauan distribusi yang cukup luas dengan sarana pengiriman yang juga rata-rata masih sederhana, dikhawatirkan bisa menyebabkan kandungan iodium berkurang karena menguap. Selain itu dibutuhkan pula kontrol dan pengawasan yang konsisten.
Untunglah stok mineral iodium sudah tidak lagi menjadi kendala. PT. Kimia Farma, sebagai badan usaha milik negara, mengolah tambang iodium di desa Watukadoh di Jawa Timur. Semua pengusaha garam beriodium mendapat pasokan mineral dari Kimia Farma.
Yang menarik, kita bisa membeli Iodium Test di apotek untuk mengetes sendiri di rumah. Caranya sangat mudah. Sediakan 1/2 sendok teh garam yang biasa kita gunakan saat memasak, lalu teteskan 2-3 tetes iodium buatan Kimia Farma pada garam tersebut. Amati perubahan warna yang terjadi. Bila tidak terjadi perubahan warna, berarti garam tersebut tidak mengandung iodium (0 ppm). Namun bila garam tersebut berubah warna menjadi berwarna biru keunguan, garam tersebut telah mengandung iodium sesuai persyaratan (30 ppm).
Mungkinkah seseorang mengidap kelebihan iodium? Mungkin saja, walau pun sangat kecil probabilitasnya. Gejala akibat kelebihan iodium sama dengan kekurangan iodium, antara lain berupa pembengkakan kelenjar leher seperti gondok. Batas aman cukup tinggi sehingga iodium yang didapat dari makanan dan suplemen saja sulit melewati batas aman tersebut. Anak usia 1-3 tahun batasnya 200 mcg/hari, sampai usia 13 tahun batasnya 600 mcg/hari, orang dewasa/ibu hamil/menyusui aman sampai 1.199 mcg/hari.
Penelitian lanjutan yang dilakukan tahun 1980 menunjukkan bahwa kekurangan iodium pada anak-anak akan mempengaruhi perkembangan mental mereka, berupa penurunan intelegensia dan peningkatan risiko kematian pada wanita hamil dan melahirkan. Penemuan ini mengakibatkan WHO (World Health Organization) menggelar kampanye di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengenai standar mutu garam beriodium dengan alasan kesehatan pada awal tahun 1990.
Mengapa garam yang dipilih? Karena garam dibutuhkan oleh setiap orang, setiap hari, serta harganya pun relatif murah. Dengan demikian penambahan iodium pada garam diharapkan bisa cepat berhasil tidak hanya di negara maju tapi juga di negara berkembang. Lagi pula penambahan iodium pada garam tidak memengaruhi warna, rasa, dan bau, serta tidak menimbulkan reaksi kimia yang berlawanan sehingga garam aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan fisik yang kentara antara garam yang beriodium dan yang tidak beriodium.
Namun Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 dalam salah satu brosurnya mensinyalir, di negeri kita cakupan penggunaan garam beriodium masih kurang dari 90%. Padahal pada kongres "The 1990 World Summit for Children" telah ditetapkan bahwa pada tahun 2000 dunia sudah harus terbebas dari defisit iodium. Kendala apa saja yang kita hadapi?
Sebagian besar garam yang kita konsumsi masih diolah secara tradisional, baik oleh para petani maupun pengusaha swasta. Untuk melangkah ke tingkat iodisasi dibutuhkan sosialisasi, dukungan, dan bantuan pemerintah. Masalah terbesar ternyata pada pengemasan, mengingat jangkauan distribusi yang cukup luas dengan sarana pengiriman yang juga rata-rata masih sederhana, dikhawatirkan bisa menyebabkan kandungan iodium berkurang karena menguap. Selain itu dibutuhkan pula kontrol dan pengawasan yang konsisten.
Untunglah stok mineral iodium sudah tidak lagi menjadi kendala. PT. Kimia Farma, sebagai badan usaha milik negara, mengolah tambang iodium di desa Watukadoh di Jawa Timur. Semua pengusaha garam beriodium mendapat pasokan mineral dari Kimia Farma.
Yang menarik, kita bisa membeli Iodium Test di apotek untuk mengetes sendiri di rumah. Caranya sangat mudah. Sediakan 1/2 sendok teh garam yang biasa kita gunakan saat memasak, lalu teteskan 2-3 tetes iodium buatan Kimia Farma pada garam tersebut. Amati perubahan warna yang terjadi. Bila tidak terjadi perubahan warna, berarti garam tersebut tidak mengandung iodium (0 ppm). Namun bila garam tersebut berubah warna menjadi berwarna biru keunguan, garam tersebut telah mengandung iodium sesuai persyaratan (30 ppm).
Mungkinkah seseorang mengidap kelebihan iodium? Mungkin saja, walau pun sangat kecil probabilitasnya. Gejala akibat kelebihan iodium sama dengan kekurangan iodium, antara lain berupa pembengkakan kelenjar leher seperti gondok. Batas aman cukup tinggi sehingga iodium yang didapat dari makanan dan suplemen saja sulit melewati batas aman tersebut. Anak usia 1-3 tahun batasnya 200 mcg/hari, sampai usia 13 tahun batasnya 600 mcg/hari, orang dewasa/ibu hamil/menyusui aman sampai 1.199 mcg/hari.
Widarti Gunawan