
Minimnya pendidikan seksualitas bagi remaja pria dari orang tua dan sekolah –seperti yang terlihat dari hasil survei Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila— tentu saja memprihatinkan. Dibanding remaja perempuan, paparan pendidikan seksuallitas bagi remaja pria sangat kurang. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara lain anak laki-laki juga tidak mendapat perhatian sebanyak anak perempuan. Anak laki-laki dituntut untuk tampil gagah, tidak boleh menangis apalagi cengeng. Akibatnya laki-laki menjadi tidak ekspresif dan selalu menahan diri. Bahkan ketika terjadi perubahan pada dirinya, remaja laki-laki cenderung tertutup. Sementara anak perempuan lebih ekspresif sehingga berbagai pertanyaan dan kegalauan terjawab.
Masa remaja yang pertumbuhannya ditandai dengan kematangan fungsi organ reproduksi juga menimbulkan kegalauan. Baik remaja perempuan maupun laki-laki, sama galaunya. Perasaan asing terhadap tubuh sendiri karena tumbuh bulu di sana-sini, perubahan suara, dan munculnya dorongan seksual menimbulkan pertanyaan dan membutuhkan jawaban yang tepat. Meski normal dan pertanda sehat, dorongan seksual yang timbul itu harus dikelola secara bertanggung jawab.
Saat dorongan itu muncul, seharusnya mereka sudah diberi guidance tentang apa yang boleh dan apa tidak boleh dilakukan. “Anak butuh penjelasan. Orang tua yang berbicara normatif atau tidak mampu menjawab kebutuhan anak akan membuat anak kasak-kusuk mencari jawaban dari teman atau sumber lain. Tak aneh bila data menunjukkan remaja laki-laki lebih banyak dibesarkan oleh peer (lingkungan pertemanan) mereka,” ujar Yudiana Ratna Sari, M.Si atau Sari dari Universitas Indonesia. Selain kasak kusuk antarteman, media elektronik dan internet juga bisa mereka jadikan sumber jawaban. “Kalau jawaban yang didapat benar, tentu tak masalah. Tapi biasanya lebih banyak informasi yang sesat,” ujar Sari.
Teknologi informasi yang canggih seperti smartphone juga memudahkan remaja kita mengakses situs-situs porno dan youtube yang banyak menampilkan berbagai tayangan berbau seksual, mulai dari adegan seksual yang dilakukan para remaja di sekolah, warnet, ayau di kamar kos, tayangan penyimpangan seksual, hingga video-video amatiran yang kini sedang jadi bahan pembicaraan panas di kalangan aktivis media sosial, mempertontonkan goyang dangdut erotis yang meniru persis gerakan-gerakan bersetubuh dan dengan kostum nyaris bugil. Semua itu pasti tak lepas dari ‘klik’ para remaja yang darahnya tengah menggelora itu, dan ikut meramaikan dunia akil balik remaja kita.
Ditambah berita-berita di TV tentang anak-anak sekolah yang dicumbu oleh guru atau pemuka agama serta tayangan infotaintment yang cenderung vulgar dalam memberitakan polah para artis yang menikah mendadak karena hamil, pastinya memancing rasa ingin tahu remaja kita tanpa mereka menyadari bahaya yang mengintai di baliknya.
Kurangnya informasi dari keluarga tentang perkembangan seksualitas pada remaja laki-laki didasari pada pemikiran yang keliru dari generasi ke generasi. “Orang tua menganggap anak perempuan harus diawasi lebih ketat dan diberi bekal yang cukup, karena berisiko dihamili. Sementara anak laki-laki cenderung lebih ‘aman’ karena tidak bisa hamil,” papar psikolog yang juga ibu dari tiga remaja ini. Pandangan inilah yang sudah waktunya diluruskan. “Baik anak perempuan maupun anak laki-laki punya tanggung jawab yang sama. Dihamili ataupun menghamili, tanggung jawabnya sama. Orang tua harus paham ini dulu, baru menjelaskannya pada anak remajanya,” tandas Sari.
Bila remaja putri diajar menjaga dirinya, remaja laki-laki juga harus diajari mengelola kelaminnya. Sebab dalam banyak kasus, laki-laki adalah pihak yang aktif merayu perempuan agar bersedia memenuhi dorongan seksualnya dengan berbagai alasan, misalnya untuk membuktikan kesungguhan cinta mereka.
Masa remaja yang pertumbuhannya ditandai dengan kematangan fungsi organ reproduksi juga menimbulkan kegalauan. Baik remaja perempuan maupun laki-laki, sama galaunya. Perasaan asing terhadap tubuh sendiri karena tumbuh bulu di sana-sini, perubahan suara, dan munculnya dorongan seksual menimbulkan pertanyaan dan membutuhkan jawaban yang tepat. Meski normal dan pertanda sehat, dorongan seksual yang timbul itu harus dikelola secara bertanggung jawab.
Saat dorongan itu muncul, seharusnya mereka sudah diberi guidance tentang apa yang boleh dan apa tidak boleh dilakukan. “Anak butuh penjelasan. Orang tua yang berbicara normatif atau tidak mampu menjawab kebutuhan anak akan membuat anak kasak-kusuk mencari jawaban dari teman atau sumber lain. Tak aneh bila data menunjukkan remaja laki-laki lebih banyak dibesarkan oleh peer (lingkungan pertemanan) mereka,” ujar Yudiana Ratna Sari, M.Si atau Sari dari Universitas Indonesia. Selain kasak kusuk antarteman, media elektronik dan internet juga bisa mereka jadikan sumber jawaban. “Kalau jawaban yang didapat benar, tentu tak masalah. Tapi biasanya lebih banyak informasi yang sesat,” ujar Sari.
Teknologi informasi yang canggih seperti smartphone juga memudahkan remaja kita mengakses situs-situs porno dan youtube yang banyak menampilkan berbagai tayangan berbau seksual, mulai dari adegan seksual yang dilakukan para remaja di sekolah, warnet, ayau di kamar kos, tayangan penyimpangan seksual, hingga video-video amatiran yang kini sedang jadi bahan pembicaraan panas di kalangan aktivis media sosial, mempertontonkan goyang dangdut erotis yang meniru persis gerakan-gerakan bersetubuh dan dengan kostum nyaris bugil. Semua itu pasti tak lepas dari ‘klik’ para remaja yang darahnya tengah menggelora itu, dan ikut meramaikan dunia akil balik remaja kita.
Ditambah berita-berita di TV tentang anak-anak sekolah yang dicumbu oleh guru atau pemuka agama serta tayangan infotaintment yang cenderung vulgar dalam memberitakan polah para artis yang menikah mendadak karena hamil, pastinya memancing rasa ingin tahu remaja kita tanpa mereka menyadari bahaya yang mengintai di baliknya.
Kurangnya informasi dari keluarga tentang perkembangan seksualitas pada remaja laki-laki didasari pada pemikiran yang keliru dari generasi ke generasi. “Orang tua menganggap anak perempuan harus diawasi lebih ketat dan diberi bekal yang cukup, karena berisiko dihamili. Sementara anak laki-laki cenderung lebih ‘aman’ karena tidak bisa hamil,” papar psikolog yang juga ibu dari tiga remaja ini. Pandangan inilah yang sudah waktunya diluruskan. “Baik anak perempuan maupun anak laki-laki punya tanggung jawab yang sama. Dihamili ataupun menghamili, tanggung jawabnya sama. Orang tua harus paham ini dulu, baru menjelaskannya pada anak remajanya,” tandas Sari.
Bila remaja putri diajar menjaga dirinya, remaja laki-laki juga harus diajari mengelola kelaminnya. Sebab dalam banyak kasus, laki-laki adalah pihak yang aktif merayu perempuan agar bersedia memenuhi dorongan seksualnya dengan berbagai alasan, misalnya untuk membuktikan kesungguhan cinta mereka.
Immanuella Rachmani