Burung Gosong dan Gua Kelelawar

Hari ketiga saya isi dengan trekking ke Gua Kelelawar, tak jauh dari Kampung Brang Sedo. Saya ditemani pemandu bernama Samiun. Usianya sekitar 65 tahun dan termasuk staf paling senior di Amanwana. Tugas utamanya memandu tamu-tamu yang ingin trekking ke hutan.
Turun dari speedboat dan melewati sebuah kampung, kami membelok ke arah hutan, lalu menyusuri jalur trekking berupa jalan setapak. Setelah sekitar 15 menit berjalan, kami mulai memasuki hutan yang rapat sehingga jalur trekking jadi agak gelap karena cahaya matahari terhalang pepohonan. Untungnya jalur ini tidak terlalu menanjak, sehingga napas saya tidak sampai tersengal-sengal.
Di tengah perjalanan, Pak Samiun mendadak berhenti dan terdiam, lalu memberi isyarat tangan kepada saya untuk berhenti juga. Terdengar bunyi gemerisik daun-daun kering, dan seekor burung berwarna hitam tiba-tiba muncul tak jauh di depan kami. Namun ia segera berlari dan menghilang di kerimbunan hutan. Saya sempat mengira itu ayam hutan, karena dia tidak terbang namun berlari menerobos semak-semak.
Begitu kami mendekati semak-semak itu, tampak gundukan tanah seperti gunung mini yang terpapas bagian atasnya. Tingginya sekitar satu meter. “Ini sarang burung Gosong tadi,” tutur Pak Samiun. Wah, namanya lucu sekali, mungkin karena warna bulunya yang hitam semua. Menurut Pak Samiun, burung itu merupakan salah satu burung khas penghuni Pulau Moyo. Gundukan tanah seperti gunung ini merupakan tempat mereka menyimpan telur. Di dalam sarang itu ada enam lubang yang tidak ditutup rapi dengan timbunan tanah, dengan kedalaman mencapai 2 meter.
Kami menemukan dua lagi sarang burung Gosong, tak jauh dari Gua Kelelawar yang kini ada di depan kami. Mulut gua ini tidak cukup besar, paling semeter saja, dan terletak di dinding bukit yang agak tinggi dari jalur trekking. Terdengar bunyi gemuruh seperti ada air terjun di dalamnya. Pak Samiun membagikan masker dan mulai menyalakan senternya. Bagian dalam gua ini cukup lega, dengan lantai tanah yang rendah dan atap yang tinggi. Kelelawar-kelelawar bergelantungan, namun tak banyak. Bagian kanan gua ini buntu, dan kami diajak masuk ke lorong gua yang semakin gelap. Bunyi deru seperti air terjun makin keras. Namun menurut Pak Samiun, itu bukan suara air terjun. “Itu suara kelelawar.”
Pak Samiun mengarahkan senternya ke lorong gua yang gelap pekat di depan kami, dan mulailah kelelawar-kelelawar yang matanya berkilat-kilat kena sinar itu terbang melintas di atas kepala kami, menuju pintu keluar gua. Makin lama, barisan kelelawar yang terbang jumlahnya makin banyak dan rapat. Mereka mengeluarkan bunyi deru seperti bunyi air terjun yang saya dengar tadi. Dahsyat!
Setelah menyaksikan atraksi kelelawar itu, kami tidak meneruskan menyusuri lorong gua. Terus terang saja, saya ngeri membayangkan kegelapan di dalam sana.