Menurut sejarah, saat di bawah pemerintahan Dinasti Sisingamangaraja, Kerajaan Batak dibagi dalam 4 wilayah (Raja Maropat), yaitu Silindung, Humbang, Samosir, dan Toba. Konon, di Raja Maripat Samosir inilah cikal bakal suku Batak berasal, yang kemudian bermigrasi ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Bahkan ada yang mengatakan, semua suku Batak asalnya dari satu keturunan, yaitu dari Si Raja Batak, yang berasal dari Sianjur Mulamula, di lereng Gunung Pusuk Buhit, kira-kira 45 menit berkendara dari Pangunguran. Tak heran bila ada pendapat bahwa suku Batak Toba adalah seasli-aslinya orang Batak.
Memasuki Desa Ambarita di Kecamatan Simanindo, sebuah gapura tua dari batu bertuliskan ‘Huta Siallagan’ mencuri perhatian saya. Rupanya gapura itu merupakan pintu masuk ke sebuah perkampungan (huta) kuno yang ‘dijaga’ oleh sebuah patung batu besar (Pangulubalang) yang berfungsi sebagai pengusir roh jahat. Di sinilah kita bisa mengenal sepenggal masa silam suku Batak yang waktu itu masih menganut agama tradisional Parmalim dan mempraktikkan kanibalisme.
Batu parsidangan (persidangan) merupakan obyek yang paling banyak menarik perhatian wisatawan. Ada dua kelompok kursi batu di huta ini. Kelompok pertama terletak di bawah hau habonaran dan berfungsi sebagai termpat rapat atau pertemuan raja dan para pemuka adat untuk membahas permasalahan masyarakat atau sebagai tembat mengadili perkara-perkara kejahatan, misalnya pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, perselingkuhan, dan sebagainya.
Kelompok batu kedua terletak agak di luar huta. Di sinilah tempat dilaksanakannya eksekusi hukuman mati bagi para penjahat atau pengkhianat. Terpidana mati dibawa ke tempat eksekusi dengan mata tertutup ulos, lalu tubuhnya diletakkan tertelungkup dengan bagian leher di cekungan batu pancungan, sementara algojo (Sang Datu) siap dengan pedang yang sangat tajam. Sekali tebas, kepala sang terhukum terpisah dari tubuhnya. Selanjutnya, Sang Datu menancapkan kayu Tunggal Panaluan ke jantung orang itu. Jantung dan hatinya lalu dikeluarkan dan darahnya ditampung dalam cawan. Kedua organ manusia tersebut lantas dicincang lalu dimakan oleh raja dan semua orang yang hadir, dan darahnya diminum bersama. Adapun kepala sang terhukum dikubur di tempat yang jauh, dan badannya dibuang ke danau.
Mendengar kisah itu dari mulut pemandu wisata yang menceritakannya dengan sangat ekspresif, saya bergidik dari ujung rambut sampai ujung kaki. Apalagi ritual ini konon masih dilakukan sampai awal abad ke-19, dan baru dihentikan setelah Raja Siallagan resmi menganut agama Kristen. Untunglah, sekarang suasana seram itu tidak tersisa lagi, khususnya pada siang hari. Sekarang Huta Siallagan sudah menjadi obyek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan. Bahkan di salah satu rumah adat terdapat show room yang menjual beragam ulos yang dilengkapi dengan demo menenun ulos yang diperagakan oleh para penenun lokal.
Memasuki Desa Ambarita di Kecamatan Simanindo, sebuah gapura tua dari batu bertuliskan ‘Huta Siallagan’ mencuri perhatian saya. Rupanya gapura itu merupakan pintu masuk ke sebuah perkampungan (huta) kuno yang ‘dijaga’ oleh sebuah patung batu besar (Pangulubalang) yang berfungsi sebagai pengusir roh jahat. Di sinilah kita bisa mengenal sepenggal masa silam suku Batak yang waktu itu masih menganut agama tradisional Parmalim dan mempraktikkan kanibalisme.
Setelah melewati lorong sempit dari batu, tampaklah sebuah perkampungan tua seluas sekitar 2.400 m2 yang dikelilingi tempok batu yang tersusun rapi setinggi 1,5 meter. Menurut penuturan para orang tua setempat, huta ini dulunya dihuni oleh beberapa keluarga yang terikat dalam satu kekerabatan yang dipimpin oleh Raja Siallagan. Di dalamnya terdapat beberapa rumah adat dari kayu yang diperkirakan telah berusia ratusan tahun. Di halaman rumah terdapat kursi-kursi batu serta lesung (losung) untuk menumbuk padi atau membuat tepung. Sebatang pohon yang disebut sebagai Hau Habonaran atau pohon kebenaran/keadilan berdiri di tengah-tengah huta. Diperkirakan sudah berusia ratusan tahun, hingga kini hau habonaran masih berdiri dengan kokoh.
Batu parsidangan (persidangan) merupakan obyek yang paling banyak menarik perhatian wisatawan. Ada dua kelompok kursi batu di huta ini. Kelompok pertama terletak di bawah hau habonaran dan berfungsi sebagai termpat rapat atau pertemuan raja dan para pemuka adat untuk membahas permasalahan masyarakat atau sebagai tembat mengadili perkara-perkara kejahatan, misalnya pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, perselingkuhan, dan sebagainya.
Kelompok batu kedua terletak agak di luar huta. Di sinilah tempat dilaksanakannya eksekusi hukuman mati bagi para penjahat atau pengkhianat. Terpidana mati dibawa ke tempat eksekusi dengan mata tertutup ulos, lalu tubuhnya diletakkan tertelungkup dengan bagian leher di cekungan batu pancungan, sementara algojo (Sang Datu) siap dengan pedang yang sangat tajam. Sekali tebas, kepala sang terhukum terpisah dari tubuhnya. Selanjutnya, Sang Datu menancapkan kayu Tunggal Panaluan ke jantung orang itu. Jantung dan hatinya lalu dikeluarkan dan darahnya ditampung dalam cawan. Kedua organ manusia tersebut lantas dicincang lalu dimakan oleh raja dan semua orang yang hadir, dan darahnya diminum bersama. Adapun kepala sang terhukum dikubur di tempat yang jauh, dan badannya dibuang ke danau.
Mendengar kisah itu dari mulut pemandu wisata yang menceritakannya dengan sangat ekspresif, saya bergidik dari ujung rambut sampai ujung kaki. Apalagi ritual ini konon masih dilakukan sampai awal abad ke-19, dan baru dihentikan setelah Raja Siallagan resmi menganut agama Kristen. Untunglah, sekarang suasana seram itu tidak tersisa lagi, khususnya pada siang hari. Sekarang Huta Siallagan sudah menjadi obyek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan. Bahkan di salah satu rumah adat terdapat show room yang menjual beragam ulos yang dilengkapi dengan demo menenun ulos yang diperagakan oleh para penenun lokal.
Teks & foto: Tina Savitri