Chef Adzan Tri Budiman, rekan saya di Maharasa Indonesia, bersikukuh untuk melihat demonstrasi pembuatan sagu lempeng yang penampilannya begitu penuh duka di Pasar Akediri. Ia yakin sagu lempeng ini luar biasa rasanya bila disantap masih hangat. Dan kami diundang ke dapur warga lokal berlantai tanah dan berpanaskan tungku sabut kelapa.

Sesekali si ibu memeriksa cetakan anah liat bernama forno -yang kemudian kami ketahui perajinnya masih banyak di Tidore- yang diletakkan di atas bara sabut kelapa. Kemudian forno yang sudah merah membara itu diangkat dengan capitan khusus dan diletakkan di atas tanah. Campuran tepung sagu pati singkong dan parutan kelapa tadi ia tuangkan dengan seksama lewat bantuan cetakan berupa sebilah bambu ke dalam lempengan forno, satu demi satu. Kami terdiam berkat biusan atraksi tadi. Ternyata, sagu lempeng matang tidak dengan cara dipanggang di atas api, melainkan kematangannya tercipta lewat proses transfer panas lewat tanah liat sebagai mediumnya. Forno tidak diletakkan kembali ke atas api, tapi hanya didiamkan sesaat, dan tepung pati singkong tadi seketika menjelma menjadi lembaran layaknya roti tawar penuh bercak cokelat tanda kelezatan. Begitu matang, kami berebutan untuk mencicipi.
Benar saja, rasanya berkali-kali lipat lebih nikmat bila dibanding yang sebelumnya kami cicipi dingin di pasar. Ada manis di ujung rasa, lembut di lidah, dan gurih saat dicecap lidah. Inilah roti tawar Jailolo dengan bahan dasar lokal dan bisa dinikmati hangat dengan sandingan manis atau asin gurih -banyak kreasi dapat tercipta dari sini.