Sepintas saya melihat sejumlah persamaan antara rumah adat Toraja dengan rumah adat Batak, yaitu sama-sama memiliki model dasar lunas perahu (di bagian atapnya). Pada suku Batak, kerbau juga memiliki posisi istimewa, yaitu sebagai 'kendaraan suci' yang mengantar arwah menuju surga, sekaligus sebagai simbol status sosial. Selain itu, karakteristik wajah kedua suku itu juga mirip, yaitu agak persegi dan terkesan 'keras'.

Sebagian orang Toraja memang percaya bahwa suku Toraja masih 'bersaudara' dengan suku Batak, bahkan juga dengan suku Dayak di Kalimantan –hal ini dikuatkan oleh sebuah studi antropologis. Konon, nenek moyang mereka berasal dari Indocina (Vietnam atau Kamboja). Setiba di wilayah Nusantara –dengan menumpang perahu-- mereka menyebar. Yang menetap di Sumatera menjadi suku Batak, yang ke Kalimantan jadi suku Dayak, dan yang ke Sulawesi jadi suku Toraja.
Jujur saja, saya agak meragukan hal itu. Menurut logika, kaum pendatang –apalagi 'manusia perahu'-- mestinya akan menetap di daerah pesisir, tak jauh dari laut. Ngapain juga jauh-jauh mencari tempat tinggal ke daerah terpencil dan sangat sulit dijangkau?
Sebagian besar penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani dan peladang, yang memang didukung oleh kondisi tanah yang subur. Kopi dan cokelat merupakan hasil pertanian utama, yang sebagian besar diekspor ke luar negeri. Karena itu, menurut teman saya Gibson, sebenarnya penduduk Toraja rata-rata cukup kaya. Tapi, yang terlihat, banyak di antara mereka yang menjalani hidup sederhana, bahkan sangat bersahaja. 'Kemewahan' yang umum terlihat paling banter antena parabola di banyak rumah. Itu pun karena siaran televisi nasional sulit ditangkap di daerah ini tanpa bantuan parabola.
“Sebagian besar kekayaan kami diinvestasikan untuk biaya kematian kami kelak, baik dalam bentuk tabungan di bank, kerbau, dan tanah. Upacara kelahiran atau perkawinan boleh sederhana, tapi upacara kematian harus besar-besaran, terutama bila yang meninggal dari keluarga bangsawan. Orang Toraja percaya bahwa kematian adalah pintu gerbang untuk mencapai surga, karena itu almarhum harus 'diantar' dengan bekal yang maksimal,” Gibson menjelaskan.