Saya yakin, bila nasihat dan contoh untuk membuang sampah pada tempatnya ini terus menerus dicekoki ke kepala anak-anak yang masih kecil, maka efeknya bisa seperti cuci otak.
Pajero Sport putih itu tampak gagah dan kinclong. Mobil itu persis berada di depan mobil yang saya tumpangi dalam perjalanan menuju Bandung lewat tol Padaleunyi. Ketika saya dan suami sedang sibuk ngrasani mobil mahal yang menjadi idaman kami itu, tiba-tiba kaca jendela tengahnya diturunkan, lalu… pruuung… sebuah cup (mangkuk plastik) bekas tempat mi instan terlempar ke luar, ke jalanan. Tak sampai satu menit kemudian, pruuung… cup kedua ikut melayang ke luar jendela.
Suami saya secara spontan membunyikan klakson beberapa kali. Sementara saya sendiri, untuk sekian detik, terdiam bagai patung. Merasa tak percaya pada mata saya sendiri. Detik berikutnya, rasa kagum yang sebelumnya saya rasakan, mendadak berbalik 180 derajat. Kalau di film kartun, mungkin mirip adegan balon yang ikatannya dilepas, lalu meliuk-liuk dengan liar di udara sembari mengempis, sebelum akhirnya jatuh ke tanah, teronggok kisut.
Dan saya sungguh menyesal, mungkin akibat terlalu ‘terpesona’, karena saya tidak terpikir untuk langsung memotretnya. Dan ketika tersadar dan siap memotret (terutama nomor polisinya), mobil itu sudah keburu menyalip mobil di depannya. Mungkin pemiliknya merasa malu (mudah-mudahan) karena adegan buang sampah itu tertangkap basah oleh kami.
Peristiwa seperti itu—menjadikan jalanan, sungai, dan selokan sebagai tempat sampah besar dan gratis—mungkin sudah ribuan kali saya saksikan, nyaris seriap hari, tapi tetap saja sukses membuat saya geram luar biasa. Saya melihatnya di taman umum, di pinggiran jalan, di tempat wisata, di trotoar, di gang-gang kampung, di kereta, di sepanjang rel kereta, di angkot. Pokoknya, nyaris tidak ada tempat umum yang terbebas dari serakan sampah. Pelakunya mulai dari anak balita, remaja, ibu dan bapak muda, sampai kakek-nenek.