Setelah menempuh perjalanan selama berjam-jam dengan bus bobrok milik pemerintah India yang jauh dari nyaman – yang jendela-jendelanya bergetar keras setiap kali melintasi jalanan yang penuh bebatuan — lalu disambung dengan mendaki pegunungan yang berkelok-kelok dan terjal, kemudian menuruni bukit dengan jurang-jurang dalam dan berbatu di kiri-kanannya, wajar saja kalau tubuh saya serasa remuk dan terkoyak koyak. Namun, pemandangan yang kini terhampar di hadapan saya membuat semua rasa lelah dan pegal itu seketika sirna. Tanpa sadar bibir saya menyunggingkan senyum bahagia, seolah terhipnotis oleh suguhan pemandangan jajaran pegunungan beratapkan salju. Ya, akhirnya saya berhasil juga tiba di Manali.
Snow Point
Pukul 5 pagi, kami sudah bersiap untuk berangkat menuju Rohtang Pass. Namun tampaknya hari itu kami kurang beruntung. Rohtang Pass yang biasanya dibuka di musim panas, ternyata masih tertutup salju tebal sehingga menutup akses jalan. Mendengar kabar itu, kami semua berseru kecewa. Untunglah rasa kecewa akhirnya terobati ketika pemilik paket tur menawarkan spot wisata lain yang tak kalah istimewa dan jaraknya hanya sekitar 15 km Rohtang Pass, yaitu Snow Point.
Namun di sepanjang perjalanan saya terus diliputi rasa khawatir. Di langit menggantung gumpalan awan hitam, sedangkan jalanan yang kami lewati begitu terjal dan meliuk-liuk saat mendaki pegunungan. Jurang menganga di sisi kiri jalan, dan di dasarnya mengalir Sunga Vyas yang berarus sangat deras. Kecemasan saya makin menjadi ketika hujan turun dengan deras disertai angin kencang dan gumpalan es yang melayang-layang. Hujan es itu menerjang kaca jip kami, suaranya bagaikan lemparan kerikil yang meninggalkan bercak putih di kaca mobil.
Saya yang sudah memakai baju rangkap tiga masih saja merasa kedinginan. Sarung tangan dan syal tebal yang saya pakai tak mampu menahan hawa dingin. Dan dari kejauhan, di seberang pegunungan, sebuah air terjun yang tengah mencurahkan air dengan derasnya, membuat hati saya makin ciut.
Setelah hampir 2 jam terguncang-guncang di perjalanan, mobil kami berhenti. Mata kami pun terbelalak menyaksikan pemandangan di depan kami. Seakan tidak percaya, saya membuka kaca jendela jip meski angin dingin langsung menerjang masuk. Di depan kami, antrean panjang ratusan mobil jip tampak meliuk-liuk tak berujung, bagaikan ular berwarna putih yang membelit pegunungan.
“Four to six 6 hour,” sopir meminta kami agar mengarahkan pandangan searah angka 4 atau 6 jarum jam. Pandangan kami pun berlabuh pada deretan perbukitan salju yang kelihatan begitu dekat, seolah sejangkauan tangan. Tapi pada saat bersamaan kami juga dilanda perasaan seperti kehilangan tujuan. Pemandangan di luar begitu cantik untuk diabadikan lewat lensa kamera. tapi di luar hujan es masih turun dengan lebat, lengkap dengan angin yang bersuit-suit. Lelah menunggu kemacetan panjang itu, tanpa terasa saya tertidur lelap.
Suara peluit polisi yang mengurai kemacetan jalan membangunkan saya. Saat membuka mata, saya terbelalak melihat suguhan alam di depan saya. Sejauh mata memandang, terlihat sebuah ‘tembok’ tinggi dan panjang berwarna putih tepat di samping kami: sebuah pegunungan yang berselimutkan salju tebal.
Meski masih gerimis, kami bergegas keluar dari mobil. Sembari bermain-main dan menjejakkan kaki di atas lapisan es yang lumayan tebal, kami bertekad berjalan kaki untuk mencapai Snow Point, meskipun jaraknya masih 2 km lagi. Di perjalanan, kami membuat bola salju, saling lempar, dan mengabadikan nama kami di permukaan tembok es raksasa itu.
Melewati jalanan yang licin, sampailah kami di sebuah bendungan air seukuran sebuah danau dan berwarna hijau jernih. Tampak indah sekaligus unik dengan latar belakang lengkungan alam pegunungan berselimut salju. Di sebelah kanannya berdiri sebuah bukit bergaris glacier es, dan di sebelah kirinya, berdiri sebuah bukit yang ditumbuhi rerumputan hijau dengan bunga-bunga kecil warna putih, kuning, dan ungu. Saya pun bergumam dalam hati, “This is heaven!”
Di alam surgawi ini kami pun bermain salju dan menikmati berbagai permainan lain yang ditawarkan, seperti ski, bermain prosotan dengan sebuah ban dan kayu, dan menunggang yak, sejenis kerbau berbulu panjang, binatang khas Pegunungan Himalaya.
Puas bermain, mata kami hinggap pada sebuah ukiran salju yang dibuat mirip gazebo, berhiaskan tulisan ‘I love you’ dan bunga alami. Cocok untuk lokasi foto pre-wedding. Kami pun sibuk bernarsis ria dengan gaya supermodel dadakan. Selagi kami asyik berfoto-foto di gazebo itu, seorang pria mendatangi kami dan meminta uang. Kami pun saling bengong, bertatapan, dan akhirnya tertawa geli. Ah, ternyata si bapak adalah sang seniman pengukir salju di gazebo tersebut, dan untuk befoto di sana kami dikenakan biaya 100 rupee per orang.
Snow Point
Pukul 5 pagi, kami sudah bersiap untuk berangkat menuju Rohtang Pass. Namun tampaknya hari itu kami kurang beruntung. Rohtang Pass yang biasanya dibuka di musim panas, ternyata masih tertutup salju tebal sehingga menutup akses jalan. Mendengar kabar itu, kami semua berseru kecewa. Untunglah rasa kecewa akhirnya terobati ketika pemilik paket tur menawarkan spot wisata lain yang tak kalah istimewa dan jaraknya hanya sekitar 15 km Rohtang Pass, yaitu Snow Point.
Namun di sepanjang perjalanan saya terus diliputi rasa khawatir. Di langit menggantung gumpalan awan hitam, sedangkan jalanan yang kami lewati begitu terjal dan meliuk-liuk saat mendaki pegunungan. Jurang menganga di sisi kiri jalan, dan di dasarnya mengalir Sunga Vyas yang berarus sangat deras. Kecemasan saya makin menjadi ketika hujan turun dengan deras disertai angin kencang dan gumpalan es yang melayang-layang. Hujan es itu menerjang kaca jip kami, suaranya bagaikan lemparan kerikil yang meninggalkan bercak putih di kaca mobil.
Saya yang sudah memakai baju rangkap tiga masih saja merasa kedinginan. Sarung tangan dan syal tebal yang saya pakai tak mampu menahan hawa dingin. Dan dari kejauhan, di seberang pegunungan, sebuah air terjun yang tengah mencurahkan air dengan derasnya, membuat hati saya makin ciut.
Setelah hampir 2 jam terguncang-guncang di perjalanan, mobil kami berhenti. Mata kami pun terbelalak menyaksikan pemandangan di depan kami. Seakan tidak percaya, saya membuka kaca jendela jip meski angin dingin langsung menerjang masuk. Di depan kami, antrean panjang ratusan mobil jip tampak meliuk-liuk tak berujung, bagaikan ular berwarna putih yang membelit pegunungan.
“Four to six 6 hour,” sopir meminta kami agar mengarahkan pandangan searah angka 4 atau 6 jarum jam. Pandangan kami pun berlabuh pada deretan perbukitan salju yang kelihatan begitu dekat, seolah sejangkauan tangan. Tapi pada saat bersamaan kami juga dilanda perasaan seperti kehilangan tujuan. Pemandangan di luar begitu cantik untuk diabadikan lewat lensa kamera. tapi di luar hujan es masih turun dengan lebat, lengkap dengan angin yang bersuit-suit. Lelah menunggu kemacetan panjang itu, tanpa terasa saya tertidur lelap.
Suara peluit polisi yang mengurai kemacetan jalan membangunkan saya. Saat membuka mata, saya terbelalak melihat suguhan alam di depan saya. Sejauh mata memandang, terlihat sebuah ‘tembok’ tinggi dan panjang berwarna putih tepat di samping kami: sebuah pegunungan yang berselimutkan salju tebal.
Meski masih gerimis, kami bergegas keluar dari mobil. Sembari bermain-main dan menjejakkan kaki di atas lapisan es yang lumayan tebal, kami bertekad berjalan kaki untuk mencapai Snow Point, meskipun jaraknya masih 2 km lagi. Di perjalanan, kami membuat bola salju, saling lempar, dan mengabadikan nama kami di permukaan tembok es raksasa itu.
Melewati jalanan yang licin, sampailah kami di sebuah bendungan air seukuran sebuah danau dan berwarna hijau jernih. Tampak indah sekaligus unik dengan latar belakang lengkungan alam pegunungan berselimut salju. Di sebelah kanannya berdiri sebuah bukit bergaris glacier es, dan di sebelah kirinya, berdiri sebuah bukit yang ditumbuhi rerumputan hijau dengan bunga-bunga kecil warna putih, kuning, dan ungu. Saya pun bergumam dalam hati, “This is heaven!”
Di alam surgawi ini kami pun bermain salju dan menikmati berbagai permainan lain yang ditawarkan, seperti ski, bermain prosotan dengan sebuah ban dan kayu, dan menunggang yak, sejenis kerbau berbulu panjang, binatang khas Pegunungan Himalaya.
Puas bermain, mata kami hinggap pada sebuah ukiran salju yang dibuat mirip gazebo, berhiaskan tulisan ‘I love you’ dan bunga alami. Cocok untuk lokasi foto pre-wedding. Kami pun sibuk bernarsis ria dengan gaya supermodel dadakan. Selagi kami asyik berfoto-foto di gazebo itu, seorang pria mendatangi kami dan meminta uang. Kami pun saling bengong, bertatapan, dan akhirnya tertawa geli. Ah, ternyata si bapak adalah sang seniman pengukir salju di gazebo tersebut, dan untuk befoto di sana kami dikenakan biaya 100 rupee per orang.
teks & foto: Attini Zulfayah