Verbal abuse atau kekerasan verbal memang merupakan bentuk kekerasan tersembunyi. Di tempat kerja, pelaku abuse atau abuser kerap tidak menyadari bahwa perilaku dan ucapannya melukai perasaan orang lain. Orang yang menjadi sasaran pun kerap tidak menyadarai bahwa dia adalah korban.
"Pelaku verbal abuse biasanya memiliki karakter narsistis, merasa diri paling hebat," ujar dr. Anggia Hapsari, Sp.K.J. Ciri lain adalah reaktif atau bereaksi berlebihan, manipulatif, takut salah, oportunis, dan kesepian, sehingga senang mencari-cari masalah. Itu sebabnya kata-kata yang kerap dia ucapkan sebenarnya menggambarkan karakteristiknya sendiri.
Adalah Alice Carleton yang berupaya mencari jawaban tentang penyebab penyakitnya selama ini. Pencariannya selama 15 tahun membuahkan hasil. Ia mempresentasikan makalahnya yang berjudul Society Hidden Pandemic: Verbal Abuse, Precursor to Physical Violence atas undangan Michigan Counseling Association. Alice mengungkap bahwa verbal abuse bisa meningkatkan kadar kolesterol. "Setiap kali kita mengalami stres, hormon kortisol dilepas ke dalam sistem peredaran darah. Kortisol ini merusak sistem kekebalan tubuh dan mengganggu kerja insulin serta meningkatkan kadar kolesterol darah," papar Alice.
Dijelaskan lebih lanjut, gejala awal dari dampak verbal abuse adalah gangguan tidur, tersedak tanpa sebab, sariawan berkepanjangan, gatal-gatal, gelisah di kantor, atau tidak dapat duduk diam. Mendengar suara detak sepatu 'sang monster' dari kejauhan saja, korban langsung kehilangan rasa percaya diri. Reaksi lainnya, korban menarik diri, depresi, dan sering berbohong supaya tidak dimarahi. Korban mengalami lack of trust sehingga merasa harus melindungi diri dengan cara berbohong.
"Efek dari stres adalah, kalau karyawan itu masih muda, usia 20-an, mereka akan mengalami gagap. Disuruh apa pun jadi lambat. Melambatnya proses berpikir akan berdampak pada gerakannya yang serba lambat pula. Adapun penyakit yang paling lazim adalah sakit lambung, migrain, gatal-gatal pada kulit, dan tension headache atau sakit di leher bagian belakang," papar dr. Anggia.
Sadari segera jika Anda sering berteriak, mencibir, mengungkap kesalahan staf di hadapan orang lain, mengkritik penampilan atau hasil kerja staf Anda dengan pedas. Atau, Anda sering melakukan ini: mengajak staf Anda berbicara, kemudian meninggalkannya selagi ia berbicara. Sadari pula jika Anda kerap mendapati staf Anda sering sakit -terutama cenderung menghindari masalah daripada mencari pemecahannya.
"Pelaku verbal abuse biasanya punya kesulitan mengelola kemarahannya," kata Anggia. Program pengelolaan emosi atau anger management dapat diikuti untuk menurunkan kecenderungannya.
Immanuella F. Rachmani
Konsultan: dr. Anggia Hapsari, Sp.KJ - RS Siloam, Jakarta