Terselip di antara keriuhan Jakarta Fashion Week 2017 (JFW 2017) adalah sebuah diskusi hangat dengan tema provokatif: Sustainable fashion.
Siang itu, 23 Oktober 2016, di Portico, Senayan City, para pemangku kepentingan dunia fashion Indonesia dan India, plus beberapa media terpilih, duduk bersama dalam acara diskusi dan makan siang. Di antara mereka adalah Svida Alisjahbana (Chairwoman Jakarta Fashion Week dan CEO Femina Group), Rubinni Kartohadiprodjo (Business Development Jakarta Fashion Week), Nangcha Lhovum (Duta Besar India), Novita Yunus (desainer Batik Chic), serta tiga desainer dari dua label asal India, yaitu Amrich dan Eka.
Hidayat Jati, Editorial Director Femina Group yang kala itu bertindak sebagai moderator, membuka diskusi dengan menjabarkan beberapa kesamaan latar belakang yang dimiliki kedua negara. Misalnya, bahwa Indonesia dan India merupakan ekonomi berkembang, sama-sama berpopulasi besar, multi-etnis, dan kaya warisan budaya. Hal tersebut membuat tantangan yang dihadapi kedua negara kurang-lebih serupa, tak terkecuali di bidang fashion.
Sustainable fashion (fashion berkelanjutan) menjadi salah satu tema besar Jakarta Fashion Week 2017. JFW sendiri telah meluncurkan inisiatif bernama FAIR, sebuah pergerakan untuk memperkenalkan, mempromosikan dan mengembangkan fashion yang lebih etis dan berkelanjutan di Indonesia.
Fashion berkelanjutan punya tujuan menciptakan sistem yang dapat mendukung pengaruh positif manusia terhadap lingkungan serta tanggung jawab sosial. Ada banyak cara untuk menjadi lebih sustainable, salah satunya dengan pendekatan pada desain yang sumber dan pembuatannya memaksimalkan keuntungan untuk masyarakat dan komunitas, serta meminimalkan dampak buruk pada lingkungan.
Dalam diskusi siang itu, Amit Vijaya dari label Amrich bercerita soal bagaimana proses pembuatan bahan yang mereka inginkan melibatkan teknik pewarnaan tradisional seperti ti- dye, shibori, bandhani, bahkan lumpur. Teknik pewarnaan itu memerlukan waktu tersendiri. Itu sebab Amrich memerlukan waktu satu tahun saat melakukan proses desain warna. Pengerjaan teknik pewarnaan yang digunakan Amrich juga ikut melibatkan perajin-perajin tradisional.
"Kami memperkerjakan perajin dengan harga yang pantas dengan kualitas produksi yang baik, karena kami menjualnya dengan harga yang pantas pula untuk menghargai proses tersebut," kata Amit. Apa yang dikatakan Amit terlihat dari koleksi Amrich yang digelar di fashion show beberapa jam setelah diskusi ini.
Sementara, Rina Singh dari Eka bercerita tentang bagaimana dunia tekstil dan menjahit telah dikenalnya sejak kecil, di lingkungan rumahnya. Para perajin tekstil tradisional punya pengaruh besar padanya. Teknik tekstil India terus digeluti hingga akhirnya ia meluncurkan Eka di 2011. Koleksi terbaru Eka yang tampil di Fashion Atrium Senayan City sangat mengapresiasi tenun tradisional, dalam model tunik yang timeless.
[Baca lebih jauh soal bahaya fast fashion di sini]
Melalui Eka, Rina ingin terus bekerja sama dengan prajin tradisional dan menggunakan tekstil lokal dari Barat dan Timur India. “Saya ingin kain tradisional terus hidup berkelanjutan di masa modern ini. Tentu dengan cara yang tetap berpegang pada proses pengerjaan alami,” tutup Rina.
Terkait pemasaran, kedua lini busana India tersebut memilih untuk memanfaat teknologi. Ketimbang membangun toko-toko, strategi penjualan global diterapkan melalui e-commerce. Dengan begitu, mereka tidak harus mengekspor barang dengan jumlah banyak, tetapi baru mengekspor bila sudah ada pasarnya.
Satu lagi yang menarik dari diskusi siang itu adalah cerita tentang bagaimana pemerintah India berperan dalam mendorong industri fashion India. Pemerintah, melalui institusi pendidikan, mendorong terciptanya hubungan erat antara calon desainer dengan perajin lokal.
Caranya adalah dengan membuat program yang mewajibkan setiap mahasiswa desain untuk terjun langsung ke lapangan, selama kurang-lebih 4 bulan. Ini seperti kuliah kerja nyata (KKN) di Indonesia. Alhasil, para calon desainer tak hanya memiliki jaringan ke para perajin sejak sebelum lulus kuliah, tapi juga bisa lebih memahami seluk-beluk kehidupan mereka.
Tak heran jika kini desainer dari Amrich dan Eka jadi bisa mengapresiasi kerja para perajin lokal, motif-motif dan cara kerja tradisional. Dan hal-hal tersebut, di kemudian hari, bakal menjadi modal utama dalam menjalankan praktik sustainable fashion.
Foto runway: Image.net/Jakarta Fashion Week 2017