Berdasarkan prinsip ekonomi Islam, investasi harus bebas dari unsur gharar (tidak pasti), maysir (judi), dan riba (bunga). Investasi dalam bentuk surat berharga bisa dikategorikan sebagai produk syariah, dengan syarat peraturan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan syariah Islam tersebut. Tahun 2011, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa tentang penerapan syariah di pasar modal dan Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI). Berdasarkan hasil keputusan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), surat berharga kategori syariah yang telah diterbitkan di pasar modal Indonesia meliputi Saham Syariah, Obligasi Syariah atau Sukuk (Retail), dan Unit Penyertaan dari Reksa Dana Syariah.
Saham Syariah merupakan surat berharga bukti penyertaan modal atas suatu perusahaan dengan sistem bagi hasil, karena itu tidak bertentangan dengan syariah Islam. Saham tersebut juga harus dikeluarkan oeh perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang halal.
Obligasi Syariah (Sukuk Retail) merupakan sertifikat atau bukti kepemilikan bersama atas aset tertentu dengan sistem bagi hasil. Ini berbeda dengan obligasi konvensional yang merupakan surat utang atau pinjaman yang berbunga. Penggunaan dana sukuk juga harus untuk kegiatan usaha yang halal.
Sedangkan Reksa Dana Syariah merupakan alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka, sehingga harus dibantu oleh seorang manajer investasi. Berbeda dengan reksadana konvensional di mana manajer investasi yang mengelola dana investor bisa bebas membeli segala macam saham, untuk reksadana syariah, manajer investasi harus selektif memilih saham yang tidak bertentangan dengan syariah Islam.
Saham Syariah tidak mengenal riba (bunga) seperti halnya saham konvensional, melainkan mengadopsi sistem bagi hasil dan risiko (nisbah) antara investor dan emiten –perusahaan publik yang mengeluarkan surat berharga untuk diperdagangkan di pasar modal. Sistem semacam itu dikenal pula dengan istilah musyarakah atau syirkah. Bila perusahaan publik yang didanai oleh investor menuai untung, investor ikut menikmati keuntungannya. Sebaliknya, jika perusahaan terkait mengalami kerugian, investor pun harus ikut menanggung kerugian.
Meskipun nilai keuntungan yang akan diperoleh nasabah bersifat fluktuatif atau naik-turun mengikuti performa perusahaannya, namun pembagian porsi dari untung yang akan didapat ataupun risiko yang akan ditanggung oleh investor dan emiten (misalnya 60% untuk investor dan 40% untuk emiten) telah disepakati di awal melalui janji akad. Kondisi tersebut memang berbeda dengan saham konvensional yang menerapkan sistem bunga tetap sehingga dapat memberikan nilai keuntungan yang lebih stabil bagi investor karena tak terpengaruh oleh performa emiten.
Dari tampilan fisik, tak ada perbedaan antara jenis saham syariah dan konvensional. Namun, saham dapat dikategorikan halal jika diterbitkan oleh emiten yang bergerak di bidang usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, misalnya bukan perusahaan minuman keras atau rokok. Karena itu, dari sekitar 400 jenis saham yang beredar di Bursa Efek Jakarta, hanya sekitar 270 saham yang dinyatakan tidak bertentangan degan syariah Islam berdasarkan hasil seleksi Bapepam.
Daftar nama emiten yang tergolong syariah tercantum di Daftar Efek Syariah atau DES (klik www.bapepam.go.id). Investor syariah hanya diperbolehkan menaruh dananya pada perusahaan yang terdaftar dalam DES. Dengan begitu, pilihan saham yang tersedia bagi para investor syariah memang lebih terbatas.
Saham Syariah merupakan surat berharga bukti penyertaan modal atas suatu perusahaan dengan sistem bagi hasil, karena itu tidak bertentangan dengan syariah Islam. Saham tersebut juga harus dikeluarkan oeh perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang halal.
Obligasi Syariah (Sukuk Retail) merupakan sertifikat atau bukti kepemilikan bersama atas aset tertentu dengan sistem bagi hasil. Ini berbeda dengan obligasi konvensional yang merupakan surat utang atau pinjaman yang berbunga. Penggunaan dana sukuk juga harus untuk kegiatan usaha yang halal.
Sedangkan Reksa Dana Syariah merupakan alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka, sehingga harus dibantu oleh seorang manajer investasi. Berbeda dengan reksadana konvensional di mana manajer investasi yang mengelola dana investor bisa bebas membeli segala macam saham, untuk reksadana syariah, manajer investasi harus selektif memilih saham yang tidak bertentangan dengan syariah Islam.
Saham Syariah tidak mengenal riba (bunga) seperti halnya saham konvensional, melainkan mengadopsi sistem bagi hasil dan risiko (nisbah) antara investor dan emiten –perusahaan publik yang mengeluarkan surat berharga untuk diperdagangkan di pasar modal. Sistem semacam itu dikenal pula dengan istilah musyarakah atau syirkah. Bila perusahaan publik yang didanai oleh investor menuai untung, investor ikut menikmati keuntungannya. Sebaliknya, jika perusahaan terkait mengalami kerugian, investor pun harus ikut menanggung kerugian.
Meskipun nilai keuntungan yang akan diperoleh nasabah bersifat fluktuatif atau naik-turun mengikuti performa perusahaannya, namun pembagian porsi dari untung yang akan didapat ataupun risiko yang akan ditanggung oleh investor dan emiten (misalnya 60% untuk investor dan 40% untuk emiten) telah disepakati di awal melalui janji akad. Kondisi tersebut memang berbeda dengan saham konvensional yang menerapkan sistem bunga tetap sehingga dapat memberikan nilai keuntungan yang lebih stabil bagi investor karena tak terpengaruh oleh performa emiten.
Dari tampilan fisik, tak ada perbedaan antara jenis saham syariah dan konvensional. Namun, saham dapat dikategorikan halal jika diterbitkan oleh emiten yang bergerak di bidang usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, misalnya bukan perusahaan minuman keras atau rokok. Karena itu, dari sekitar 400 jenis saham yang beredar di Bursa Efek Jakarta, hanya sekitar 270 saham yang dinyatakan tidak bertentangan degan syariah Islam berdasarkan hasil seleksi Bapepam.
Daftar nama emiten yang tergolong syariah tercantum di Daftar Efek Syariah atau DES (klik www.bapepam.go.id). Investor syariah hanya diperbolehkan menaruh dananya pada perusahaan yang terdaftar dalam DES. Dengan begitu, pilihan saham yang tersedia bagi para investor syariah memang lebih terbatas.
Konsultan: Mohammad Teguh, Pakar Keuangan Syariah QM Financial.