Lobang Jepang adalah salah satu obyek yang wajib dikunjungi bila Anda bertandang ke Bukittinggi. Ini adalah gua bawah tanah yang dibangun oleh tentara Jepang saat menduduki Bukittinggi.
Dengan membayar tiket masuk Rp5.000, kita bisa menyusuri gua sepanjang 1.470 meter ini.
Membawa pemandu lebih disarankan, agar kita tidak tersesat di lorong-lorong yang semuanya terlihat sama persis itu. Rasanya agak horor kalau kita sampai tersesat di lorong-lorong yang seperti labirin di dalamnya, apalagi bila membayangkan berbagai cerita yang beredar di masyarakat mengenai banyaknya pekerja romusha yang tewas di sana.
Dari pintu masuk, pengunjung harus menuruni 130 anak tangga menuju gua datar yang berada 40 meter di bawah permukaan tanah dan 40 meter di atas dasar Ngarai Sianok. Jalan masuk ini dulunya hanya seukuran ban mobil, karena dulunya merupakan lubang pengintaian, bukan pintu masuk. Tapi uniknya, udara di dalam gua terasa sejuk dan tidak pengap.
Kalau diperhatikan, dinding-dinding gua tersebut bentuknya tidak rata, melainkan bergelombang. Memang sengaja dibuat demikian untuk meredam gema. Pada masa lalu di cekungan-cekungan dinding itu banyak dihuni oleh kelelawar dan burung wallet, tapi sekarang tampaknya tidak ada lagi.
Tepat di dasar anak tangga, terdapat jalur utama yang memiliki 6 lorong di sisi kanan. Jalur ini masih sama dengan bentuk aslinya, hanya sudah dilapisi semprotan semen. Pemandu mengatakan, lapisan semen itu justru berbahaya, karena tidak menyatu dengan tanah di sekitarnya. Ketika terjadi gempa bumi, misalnya, yang rontok adalah lapisan semen tersebut, sementara struktur asli gua tetap utuh.
Konon, di jalur utama ini dulunya terdapat lubang panjang yang berfungsi sebagai jebakan jika ada musuh yang berhasil menyusup masuk. Disebut jebakan, karena di dalam lubang panjang tersebut tentara Jepang menanam banyak bambu runcing. Musuh yang masuk ke sana bisa dipastikan berakhir riwayatnya.
Sementara keenam lorong di sisi kanan jalur utama itu berfungsi sebagai tempat penyimpanan senjata. Semuanya sama persis bentuknya. Ada satu lorong yang dibiarkan seperti aslinya, yaitu memiliki ketinggian yang minim —seukuran tubuh orang Jepang masa itu yang umumnya pendek-pendek— sehingga kita harus berjalan membungkuk di dalamnya.
Jalur utama dulunya juga memiliki ketinggian yang sama. Tapi ketika dibuka sebagai tempat wisata pada tahun 1986 (gua ini ditemukan pada tahun 1946), telah dilakukan penggalian sekitar 0,5 meter agar orang dapat berjalan tegak di dalamnya.